oleh: Abdullah Nasir dan Tika Reniansyah (Mahasiswa FUPK-TH IAIN Walisongo Semarang)
I.
Pendahuluan
Dalam ilmu tasawwuf,
mengenal diri sendiri menjadi sesuatu yang sangat penting, mengingat manusia
(diri sendiri) merupakan salah satu unsur untuk mengenal Tuhan. Diri sendiri (tubuh
dan ruh manusia) menjadi limpahan kasih dan rahmatNya sekaligus merupakan
refleksi dari Tuhan itu sendiri. Dari sini, dalam kaitannya dengan rasa
terimakasih (syukur) kepada Tuhan, hal ini menjadi begitu penting, karena
secara otomatis pun hal ini akan berbenturan dan menentang sisi negatifnya,
yaitu ketika hal ini tidak dilakukan.
Berkaitan
dengan hal ini, kajian tentang mengenal diri sendiri perlu dipelajari, dan
dalam ilmu tasawwuf kajijannya disatukan dalam pembahasan bab “nafs”. Nafs
sendiri menjadi salah satu prioritas dalam mendekatkan diri kepada Tuhan,
sebagai tujuan tasawwuf itu sendiri. Dan dalam kajiannya, nafs pun berkembang
kedalam tingkatan-tingkatan tertentu yang pasti memiliki kriterianya
masing-masing.
II.
Rumusan
Masalah
a.
Pengertian
Nafs
b.
Tingakatan-tingkatan
Nafs
c.
Hikmah
meninggalkan Nafs
III.
Pembahasan
Masalah
a.
Pengertian
Nafs
Nafsu dalam bahasa Arab biasa disebut
dengan Nafsus syai’ yang artinya sesuatu (jati diri). Sedangkan menurut kaum
sufi, “ ucapan kata Nafs bukan di
maksudkan sebagai wujud atau acuan masalah”. Yang mereka maksudkan degan Nafs
adalah sesuatu yang tercela dari sifat – sifat hamba, akhlak, dan perbuatannya.
Nafsu itu
adalah keinginan manusia yang tersirat dalam akal pikirannya. Nafsu ada yang
baik, yaitu nafsu yang tidak bertentangan dengan hati nurani serta perintah-perintah
dan larangan-larangan yang Allah tetapkan. Namun ada pula nafsu yang buruk,
yaitu nafsu yang hanya untuk memenuhi keinginan pikirannya saja, tanpa
melibatkan hati nurani dan ketetapan Allah.
Menurut
pendapat Imam Syafi’i, Nafs adalah lathifah rabbaniyah idan itu belum
terhubung dengan jwa atau diri seseorang.
b.
Tingkatan
Nafs
Di
dalam sistem Sufi, suatu spektrum diri (al-nafs) terdiri atas 7 tingkatan,
berkisar antara yang paling tinggi sampai kepada yang paling rendah.
Bayang-bayang abu-abu berada di antara tingkatan-tingkatan ini, karena
bagian-bagian di antara semua tingkatan ini tidaklah sepenuhnya dapat dilihat
(nyata) atau dapat diukur atau dihitung.
1.
An-Nafs
Ammarah
Nafs yang
condong ke arah tabi’at badaniyah
dan menyeru kepada kenikmatan ( al-ladzat ) dan syahwat yang terlarang
oleh syariat.
Nafs ini belum
bisa membedakan antara yang baik dan buruk, belum memperoleh tuntunan, belum
menentukan mana yang manfaaat dan mana yang mafsadat , tapi kebanyakan ia mendorong kepada hal
hal yang tidak patut. Ia menimbulkan tindakan khianat dengan segala akibat –
akibatnya yang tiada patut di puji, ia enggan menerima advice, gagasan dan saran,
serta menganggap semua advice , gagasan dan saran merupakan lawan, penghalang
maksudnya, penarung tujuanya. Ia gembira menerima bisikan iblis dan syaitan
yang menunjukan kepadanya jalan terkutuk dan inilah sahabatnya yang
digemarinya. dan juga ini condong terhadap kepentingan pribadi (selfish) tanpa
memikirkan kepentingan-kepentingan yang lain seperti tindakan dzalim atau
brutal. Nafs ini keras, tertutup, gelap, sewenang-wenang, keras dalam
mempertahankan kepentingan dirinya dan juga bangga atas kesalahan-kesalahan
yang dia lakukan.
2.
An-Nafs
al-Lawwamah
Merupakan Nafs
atau diri yang menyalahkan ( the blaming self). Nafs yang mendapat cahaya dari qolb
kemudian kadang-kadang mengikuti kekuatan akal dan terkadang menyimpang
sehingga membuatnya menyesal. Nafs yang menyadari apabila melakukan suatu
kesalahan-kesalahan, dia sadar atas kesalahannya akan tetapi kesalahan itu
tetap dilakukan walaupun dia mengetahui itu salah. Golongan nafs ini beramal
tetapi masih tetap ada riya, hasut, dengki dan sebagainya dalam dirinya.
3.
An-Nafs
al-Mulahhimah
Tingkatan yang ketiga adalah
nafs yang kreatif dan toleran (the creative or
inspired self). Ini adalah diri yang berkembang dan
meningkat tetapi tidak cukup untuk mengamankan. Ketika kita dalam suatu suasana
hati yang artistik atau kreatif, kita tidak mempunyai banyak ketakutan atau
kecemasan dan terbuka bagi inspirasi (ilham). Dari sudut pandang Sufi,
diri yang menyenangkan ini (sebenarnya) dalam bahaya, sebab terbuka seluruhnya,
mengancam hukum-hukum atas sikap yang benar, yang mana ciptaan menjadi subyek.
Nafs Mulhamah adalah diri yang berpandangan terbuka yang
mengatakan baik untuk segalanya. Diri (nafs)
ini melompat ke setiap arah. Ini adalah sikap ‘mengapa tidak?’ (why not?). Hal
ini seperti seorang laki-laki dari tujuh puluh orang yang belum pernah bermain
ski dalam hidupnya, lalu tiba-tiba ia memutuskan untuk mencobanya. Kemungkinan
besar dia akan terjatuh dan menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk
menyembuhkan luka-lukanya. Walaupun diri yang terilhami mungkin menemukan
dirinya sendiri di dalam kesulitan, hal itu juga dapat membantu mengembangkan
harapan karena kefleksibilitasannya. Kebanyakan orang yang memulai menapaki
jalan ruhani akan mengawali tingkat toleransi ini dan bersikap bebas, sebab
mereka ingin melihat kebodohan mereka sendiri.
4.
An-Nafs
al-Muthmainnah
Nafs yang
mendapat cahaya dari qolb dan terbebas dari sifat-sifat hina, mendapat
tuntutan dan pemeliharaan yang baik, mendatangkan ketenangan dalam jiwa,
melahirkan sikap dan perbuatan yang baik, membentengi serangan kekejian
kejahatan, mendorong melakukan kebajikan serta menghambat pekerjaan kejahatan.
Nafs ini merupakan diri yang aman atau diri yang tenang. Keadaan seperti ini
didasarkan pada kepastian dan kepercayaan. Dan inilah diri (nafs) yang matang dan diri yang berpengalaman, meyakini
bahwa suatu hasil akan selalu baik, dan kapan pun ia menghadapi kekacauan, ia
akan mengingat pengalaman masa lalu dan peristiwa-peristiwa sebelumnya demi
menyempurnakan kesetiaan, ketenangan dan kesabaran.
5.
An-Nafs
ar-Radhiyah
Merupakan jiwa atau nafs yang ridho
kepada Allah SWT dan tempat (sya’n)nya adalah keselamatan. Mempunyai
status yang baik dalam kesejahteraan, mensyukuri ni’mat qona’ah. Dan nafs ini
masih dalam proses usaha untuk melatih diri untuk mencintai Allah SWT
sepenuhnya.
Diri Yang Ridha dan
merasa puas ini adalah diri yang memulai perjalanan ruhaninya dan mengikat
dirinya sendiri untuk berusaha. Sang diri tidak akan berhenti sampai ia
mengenal Sang Penyebab keberadaannya. Bagaimana agar kita dapat menjadi ridha?
Sebaliknya kita hanya mempunyai kepastian akan terjadinya kematian fisik,
betapapun pengalaman hidup manusia umumnya adalah makanan bagi cacing-cacing di
dalam kubur. Diri Yang Ridha didewasakan oleh
pengetahuan. Pada maqam ini diri (nafs –self) telah banyak dikaruniai
cahaya kesadaran, yang muncul setelah pikiran sudah ditambatkan.
6.
An-Nafs
al-Mardiyyah
Setelah
melalui diri yang terpuaskan (nafs al-radhiya), maka muncullah
kemantapan batin yang sedemikian besar dan kuat yang membawa sang nafs ke
tingkat Nafs al-Mardhiyah – Diri Yang Diridhai, yang telah
mencapai keharmosian dan keselarasan dengan Semesta Alam,
Nafs yang diridloi oleh Allah SWT,
keridloan itu bisa terlihat pada anugrah yang DIA berikan berupa, senantiasa
dzikir, ikhlas, mempunyai karomah, dan memperoleh kemuliaan. Sementara
kemuliaan yang diberikan Allah itu bersifat universal, artinya jika Allah
memuliakannya siapapun tidak akan bisa menghinakannya.
7.
An-Nafs
al-Kamilah
Nafsul kamilah adalah jiwa yang telah
sempurna bentuk dan dasarnya, sudah di kategorisasi cakap untuk: mengerjakan
irsyaad dan menyempurnakan ikmaal terhadap hamba Allah, dia di gelari Mursyid
dan mukammil. Ia telah tajalli asmaa wash shifaat, baqa bil laah, fanaa bil
laah, ‘ilmuhu ‘ilmu ladunni min ‘indil laah
Diri yang
berada pada suatu kesadaran dan terus-menerus. Kesadaran dalam keseimbangan
penyatuan, yang meningkatkan diri menuju ke kesadaran sejati (pure
consciousness), tetap tersadarkan dan peka akan Realitas Ilahi Yang
Kekal. Inilah nafs (diri) yang secara lahiriah bertindak sebagai wakil
kebaikan, yang membantu orang lain menuju ke perkembangan yang konstan dan
ketentraman dan secara batiniah ditelan oleh Sang Samudra Wujud (The
Ocean of Beingness). Ini adalah nafs yang sisi luarnya berjuang dan
berkorban, dan sisi batinnya telah terpuaskan oleh cinta yang tanpa batas.
Inilah diri
yang telah mencapai kesadaran yang sejati, murni, lengkap, otentik dan total.
Arah kita mesti jelas, yaitu ingin merasakan ketakterbatasan dengan fisik yang
terbatas ini. Kadang-kadang kita membebani tubuhnya di luar batas kemampuannya.
Hal ini dikarenakan kita terus-menerus salah mengarahkannya hingga melampaui
batas. Tubuh kita tak habis-habis mengalami hal ini. Kita mesti mempelajari
perbedaan yang sulit ini dan menggunakan energi kita sewajarnya.
Jika suatu
waktu kemarahan muncul dari dalam diri
kita, kita melihat bahwa suatu ungkapan kekecewaan telah dibelokkan dari
pencapaian hasrat kemudian kita segera memahami perhitungan kita yang salah,
dan kemarahan kita pun surut.
Kemudian dalam Al-Qur'an tingkatan
nafs terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu nafs martabat tinggi dan nafs
martabat rendah. Nafs martabat tinggi memiliki oleh orang-orang takwa, yang
takut kepada Allah dan berpegang teguh kepada petunjuk-Nya serta menjauhi
larangan-Nya. Sedangkan nafs martabat rendah memiliki oeh orang-orang yang
menentang perintah Allah dan yang mengabaikan ketentuan-ketentuan-Nya, serta
orang-orang yang sesat, yang cenderung berperilaku menyimpang dan melakukan
kekejian serta kemungkaran.
Secara ekplisit al-Qur'an menyebut
tiga jenis nafs, yaitu
1. al-nafs al-muthma'innah
2. al-nafs al-lawwamah
3. al-nafs al-ammarah
Ketiga jenis nafs tersebut merupakan tingkatan kualitas, dari yang terendah hingga yang tertinggi. Ayat-ayat yang secara ekplisit menyebut ketiga jenis nafs itu adalah sebagai berikut:
2. al-nafs al-lawwamah
3. al-nafs al-ammarah
Ketiga jenis nafs tersebut merupakan tingkatan kualitas, dari yang terendah hingga yang tertinggi. Ayat-ayat yang secara ekplisit menyebut ketiga jenis nafs itu adalah sebagai berikut:
"........Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-Ku....." (Q,. s. al-Fajr / 89-27-30).
"......Aku besumpah dengan hari kiamat, dn
aku bersumpah dengan jiwa amat menyesali(dirinya senderi)....." (Q,. s. al-Qiyamah /
75:1-2).
".......Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kapada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha penyayang......" (Q., s. Yusuf / 12:53).
c.
Hikmah meninggalkan hawa nafsu
Perjuangan
paling besar adalah meninggalkan hawa nafsu, maka jangan biarkan nafsu
menguasai hari hari kita karena tak satupun permasalahan terselesaikan dengan
mengedepankan nafsu amarah bahkan menyebabkan kondisi semakin parah, tujuan
tidak terarah sehingga menyebabkan hidup semakin susah, dan tingkah laku serba
salah. Oleh karena itu kembalilah ke fitrah mengalah bukan berarti kalah agar
hidup lebih berkah.
IV.
PEUTUPAN
Dengan demikian, telah dijelaskan tingatan-tingkatn dalam nafs yang
menurut para sufi terbagi menjadi 7 tingkatan. Adapun tingkatan-tingkatan
tersebut mempunyai kualitas masing-masing dan tingkatan yang juga bisa
dikatakan tingkatan yang mempunyai kualitas yang baik, mempunyai kualitas yang
sempurna adalah tingkatan nafs yang terakhir yaitu nafs al-kamilah. Didalamnya
terdapat sifat-sifat yang telah sempurna dan jarang dimiliki oleh khalayak
umum. Namun dala al-Qur’an disebutkan hanya
tingkatan nafs didalamnya, namun dari ke-3 tingkatan tersebut juga
termasuk dalam tingkatan nafs yang terbagi dalam 7 tingkatan mnuut para sufi.
DAFTAR PUSTAKA
Sapuri, Rafy.
2009. Psikologi Islam. Jakarta : Rajawali pers.
qitori.wordpress.com/2007/05/07/tujuh-tingkatan-nafs-1/
qitori.wordpress.com/2007/05/16/tujuh-tingkatan-nafs-2/
0 Response to "Pengertian dan Tingkatan Nafs (Makalah)"