Find, do, and show your life

Banner 468 x 60

Loading...

Cerpen Perpisahan (kisah nyata)

judul:

Kegagalan cinta ….. adalah sebuah Keberhasilan


“Aku sekarang dapat tersenyum dengan tenang, karena semuanya telah kutinggalkan, dekapan kesusahan telah kuhancurkan, kobaran api yang bersuhu tak terhitung nilainya telah kupadamkan dengan kesejukan keikhlasan. Senyum inilah yang aku inginkan. Senyum yang sesungguhnya, tanpa lara, tanpa duka, hanya bahagia.”

Memang sekarang, aku bisa merasakan semua itu, menghirup udara pagi nan segar, meerasakan terpaan angin berhembus semilir, menyerap hangatnya terpaan cahaya mentari yang makin terlihat cerah, seakan terrsenyum melihat kelahiranku kembali.
Tiap waktu dhuha mulai terbit, tersimpuhku dihadapanNya, Sang Ilahi dengan penuh keyakinan akan takdir yang akan segera kujalani. Lalu, kupandangi jalan panjang depan rumahku, jalan panjang nan seakan tak ada ujungnya. Dengan tersenyum ku berguman, “Disitulah banyak kenanganku bersamanya”. Dewi, memang sebuah nama simple yang dulu pernah bersafari di dalam pikiranku, melekat di setiap detakan nadiku, bahkan menyatu dengan nafas harianku, terasa nyaman.
Saat yang selalu ku ingat, mungkin itulah keadaan terberat dalam perjalanan hidupku sebagai seorang remaja, semua mata memandangku sinis, semua hujatan dan cacian terlempar kepadaku, bahkan kepercayaanpun tak ada harganya lagi. Sebuah akhir cerita yang menyakitkan, saat semua love story kami harus berakhir tanpa pengampunan, kesalahan, kebencian, serta kenafian kasih, namun terlalu sakit dan berat, lunglai tak berdaya, senyumpun terasa kaku, bahkan kesendirian enggan menyapaku, hanya ‘sendiri’ tak berdaya.
Memang, semuanya berawal secara kebetulan, terlalu sulit untuk ditolak, bahkan merasa semuanya akan jadi sempurna –tanpa hambatan–. Dewi, wanita sederhana yang ‘hampir sempurna’ itu hadir di saat yang tepat, di tengah-tengah kegalauan hati. Semua penafian penerimaan itu membuatku agak patah arang, namun itulah satu alasan pokok mengapa ku tak sanggup menolak gadis seanggun Dewi. Memang semua itu tak pantas, macam kebohongan, ketidakadilan, kekecewaann, dan kemunafikan, bukanlah hal yang pantas untuknya. Namun kesabaran yang ia miliki, membuatku semakin bersemangat untuk mendapatkannya.
Waktu itu, sebuah awal yang biasa saja, semula hanya titipan salam yang kudapatkan lewat temanku, Ovi, “Eh, Zaq, dapet salam tuch dari fans kamu, orangnya…. Rahasia dech”, begitulah sang ‘pembawa pesan’ itu berujar padaku. Memang tak terlalu kuhiraukan, karena memang perjalanan asmaraku di kala itu mengalir bak air terjun nan jatuh dari ketinggian satu kilometer. Nita, nama gadis yang saat itu sedang dekat dengan jejaka bernama Zaqi –aku–. Secara jelas, memang kami tak mengikat hubungan kami sebagai kekasih, namun semua tingkah, perbuatannya lah yang membuatku jatuh hati tanpa sadar. Manis, dan indah, dua kata yang tepat untuk mengggambarkan suasana kami berdua di kala itu.
Awal cerita kami, dimulai saat akhir penghujung Ramadhan datang, sebuah awal yang mngejutkan, karena ia memintaku menjadi ‘guru privat’ sekaligus teman curhatnya, dua hal yang mengharuskan kami berdua untuk selalu dekat. Disini, satu peribahasa yang kutakutkan, “Witing tresna jalaran saka kulina”, begitulah salah seorang temanku, Toni, berkata padaku seraya melontarkan guyonan sinis, “Mengko suwe-suwe rak yo seneng”. Hingga waktu pasca-lebaran pun mulai menghampiri, sekolah kami MA Yaspia telah memulai civitas akademikanya. Tak kuduga, ia menghampiriku, dengan mata berkaca-kaca, seakan ingin memuntahkan air mata, “Zaq, plis…. Bantu aku, aku lagi ada masalah nich, mau curhat… pliiiis”. Tak sanggup ku menahan rasa iba, lalu kusambut ia dengan senyum sedu nan ramah, “Kenapa?, ada apa Nit?, jangan nangis terus donk, nanti cantiknya hilang lho”. Dengan rona wajah yang mulai mengembangkan senyum, ia pun cerita tentang masalahnya, dan aku pun dengan cermat memperhatikan, dan memberinya sedikit wejangan dan nasehat yang mungkin tak terlalu berarti untuknya.
Dengan penuh keterkejutan, awal yang krusial itu membuatku menabuh genderang asmara, mengobarkan bendera kasih sayang untuk Nita. Bahkan semenjak itu, Nita sering menjadikanku teman curhat privat yang mungkin semua rahasianya telah ku ketahui. Tak hanya sampai disitu, Nita yang juga mempunyai masalah dalam belajar pelajaran bahasa juga sering mengajakku belajar bersama –tentu akulah yang jadi tutor baginya–. “Zaqi memang tak ganteng-ganteng amat, tapi kalo masalah pelajaran, apapun kulawan”, dengan penuh semangat hatiku berujar. Menyenangkan, penuh semangat, selalu mendapatkan hal-hal baru, hingga tak sadar dengan jalur pendidikan (ibarat seorang guru dan murid), aku pun jatuh hatit kepadanya, terlalu dalam dan tulus. Tingkat kepercayaan-diriku menggelembung tak keruan.
Mulai dari belajar di ruang kelas XI IPA kami tercinta, perpus MA Yaspia, laboratorium, hingga pulang bareng pernah kulakoni bersamanya. Ya, hal itulah yang semakin membuatku terhipnotis oleh buaian nada-nada asmara nan merdu dan indah. Sweet Love Story, itulah sebuah software yang mulai terbangun dalam program-program dalam pikiranku, bahkan tak jarang, dengan senyum nan mengembang, aku berkata dalam hati, “Sudah calon hafidhoh, cantik, baik, pengertian, enak diajak ngomong pula, seempurna inikah jodohku???”, hal itu tak pelak membuatku terlalu berharap padanya. Apalagi senyum lembut nan manisnya yang sering terlihat menghiasi wajahn eloknya, semakin membuatku yakin.
Saat-saat manis yang kualami bersama Nita memang terlalu dekat, hampir sempurna, ditambah lagi, karena sering belajar bersama dengan Nita, aku menemukan semangat “Menjadi lebih pandai untuk mengajar siapapun dan menjadi lebih baik untuk melayani siapapun”. Dua hal, antara ilmu dan moral itulah yang dapat kuambil dari semangat Nita, bahkan tanpa ragu namanya kuukir dalam sebuah blog yang mungkin kini tengah usang bernama iloramapa@................
Memang kami berdua sering bersama-sama, baik di ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, maupun tempat-tempat bernuansa ‘pendidikan’ lainnya. Hingga tak heran, jika kadang akupun belajar lebih giat, rajin membaca, dan tak jarang bertanya pada guru, “Demi ngajar dan nggak kikuk saat ada di depan Nita, kan harus makin serius belajarnya”, sering ku berkata seperti itu pada kawan-kawanku.
Semuanya menjadi semakin menyenangkan, saat ia berkata dengan senyum tersipu, “Enak ya, kalo punya temen, apalagi pacar kayak kamu, udah pinter, baek, enak diajak ngomong, …. Tapi, ga jadi dech, abisnya kamu kecil siech, hehehehe… maaf pak guru, guru kecilku?, Cuma becanda”, celotehan yang semakin membuatku gemas kepadanya. “Guru kecil”, panggilanku yang sering ia lontarkan kepadaku, memang aneh, tapi menurutku itu unik, dan hal yang uniklah yang sering kuburu.
Pernah, saat jam kelas kami kosong, aku dan Nita duduk di depan kelas, ngobrol tentang ‘masalah’nya, ia curhat kepadaku dengan penuh semangat, “eh, aku udah dua minggu ga ngomong, ga sms dia, tapi kayaknya dia …… (bla…bla…bla)”. Saking semangatnya ia curhat, dan saking seriusnya aku mendengarkan, kami berduapun tak sadar akan kedatangn guru Bahasa Arab kami, Pak Mukhsin, beliaupun menegur kami, “Lho, lho, lho …. Jam bebas kok malah berduaan disini, ga liat apa yang lain udah pada masuk”. Dengan wajah gugup, akupun memandangi sekitar, tak seorangpun yang kutemukan, kecuali seorang gadis yang memang duduk di sampingku, Nita dengan senyum gugup pula.
Sebuah kejadian yang tak kalah hebat efeknya terjadi di ruang perpustakaan. Waktu itu, adalah saat jam pelajaran terakhir, karena kelas kami kosong, kami berduapun langsung menuju perpustakaan, gudangnya ilmu. “Zaq, yuk ke perpus yuk, aku mau diajarin bahasa arab donk....”, tanpa sungkan Nita mengajakku. Akupun menyanggupinya. Pada awalanya, memang ada, beberapa siswa lalu lalang di dalam ruangan yang sunyi itu, namun sekejap –tak terasa– kemudian, tak satupun orang –kecuali kami berdua dan petugas perpus yang sedang mengantuk– yang berada disana. Kamipun tetap asyik belajar, karena memang itulah tujuan kami, bukan yang lain. Tak lama bel tanda berakhirnya jam terakhirpun berbunyi, “Dingdong....”, bunyi sebayak empat kali itu tak menghentikan kami yang sedang asyik-asyiknya mengkaji bahasa arab (Nahwu dan Shorof). Terkaget, saat mas Yanto, penjaga perpustakaan menyindir kami, “eh, malah asyik pacaran, ga denger bunyi bel ya? mau pada pulang, atau kukunci kalian berdua disini?”. Saat itu pula, kami berdua baru sadar lamanya waktu terlewat dan sunyinya ruangan itu –karena hanya kami berdua yang di situ–.
Kejadian, pengalaman, serta keadaan yang tak disengaja, namun berkesan romantis seperti inilah yang sangat sulit kutolak. Aku manusia biasa, menyukai kenyamanan dan ketenangan jiwa, keindahan, dan kecantikan. Semua itu membuatku terlena, bahkan sempat ingin memilikinya sebagai kekasih. Padahal, sebelumnya, Nita sudah kuanggap sebagai adik sendiri, dan sebagai murid yang membutuhkan guru sekaligus teman.
Hasrat itupun menggebu, bahkan lewat sindiran, aku pernah menggodanya, “Em, kalau aku yang jadi pacarmu, aneh donk.... Nit?”, terkadang, “Nit, masak aku sich yang harus jadi suami kamu nanti, ...”. semuanya hanya ia balas dengas senyum manis seraya menyindir pula, “enggak ah, masak kamu, nanti ada yang marah...?”, terkadang, “Emh, kalau kamu yang jadi suamiku, nanti anaknya gimana donk, masak pesek, atau malah cebol kayak kamu...? Ihhhhh”. Meski begitu, Nitapun sering menyanjungku, “Kalau aku nanti punya anak, pengen dech yang kayak kamu, pinter, jenius, pokoknya yang puinter banget kayak kamu gitu ......, tapi bukan kecilnya lho ya..”, sambil tersenyum ngledek, tapi tetap manis.
Dalam perjalanan cerita asmaraku dengan Nita yang tak kunjung dapat diwujudkan, karena seperti pepatah mengatakan, “Tak mungkin kau menjadikan sahabat, sebagai kekasih”, hingga mungkin memang kami hanya dapat membangun hubungan friendship saja.
Akupun berniat untuk menyudahi perasaanku terhadap gadis yang telah memberikan banyak warna dalam hidupku itu. Ku mencoba untuk sering menjauhinya, mengabaikan ajakan belajarnya, bahkan hanya menyapa sekedarnya ketika bertemu. “Zaq, ke perpus yuk .....!!!”, dengan penuh harapan ia memintaku, “Sorry Nit, aku gi ada urusan ik, ga bisa....”, terlalu kejam –tanpa penjelasan dan pemahaman–, itulah yang mungkin telah kulakukan, dalam misi penghapusan getar-getar asmaraku.
Di saat-saat itulah, seorang Dewi mulai mengisi kekosongan hati ini, tak terperikan hati ini ketika harus menuliskan, “sorry, because for now, I can’t give you again everything that was given .....” kepada calon jodoh nan hampir sempurna itu. Mulai saat itulah, ku hanya menaganggap Nita sebagai teman, dan kami berduapun tidak terlalu sering berduaan lagi.
Dewi pun secara gencar menitipkan secuil ucapan salam yang selalu dititipkan kepada Ovi, teman sekelasku. Bahkan, secara kebetulan, pasca tragedi penghapusan perasaanku terhadap Nita, ia pun memberi sedikit petunjuk tentang identitasnya, “Em, mau tau ga, fansmu itu anak kelas IX, trus, kalo berangkat skul lewat depan rumahmu lho ... coba aja cari ndiri, ok !!!”. Penasaran memang salah satu sifat alamiku, tanpa berniat apapun, aku mencoba melacak ‘keberadaan’nya.
Memang, dengan santai ku mencoba mencarinya. Namun, secara pasti, aku menemukannya dengan warna kuning tasnya sebagai clue  terakhirku. “Warna tasnya, pokoknya kuning-kuning kayak gini lah”(sambil menunjuk kulit pisang di tong sampah), ujar Ovi dengan penuh keseriusan.
Setelah identitasnya di tanganku, Dewi pun mulai malu-malu kucing jika bertemu denganku. Hanya senyum hangatlah yang dapat kuperlihatkan padanya, sambil menganggukkan kepala –ciri khasku saat bertemu orang–. Namun, sikap Dewi memang terlalu tenang, terlalu sunyi untuk dideskripsikan, hingga kami hanya pandang-memandang selama satu minggu. Penyakit malu yang aku miliki memang sangat kuat pada saat itu, namun, hanya membutuhkan sapaan lembut untuk menghapus sikap primitif itu, “Chuewek.... sebenernya dah sejak kapan toh?”, dengan gerogi ku menyapanya. Bukannya bingung, tapi dengan pasti Dewi –gadis yang mungkin telah menjadi bayangan yang selalu datang di setiap mimpi-mimpiku– menjawab dengan senyum cantik nan menawan, “Ahh, terjadi begitu adja tuch...”. kemudian iapun menambahi, “Pokoknya awalnya, aku terkesan adja gitu sama kamu, trus keterusan kayak gini dech,,”.
Sejak itu, kami berdua tak lagi sungkan saat bertemu. Dewi yang notabennya adik kelasku itu sering memintaku untuk membantunya dalam belajar. Memang mungkin memang hal itulah yang bisa kulakukan untuk gadis-gadis remaja yang pernah menyemerbakkan harumnya asmara dalam kehidupanku.
Tak jauh berbeda dengan kisahku dengan Nita, aku dan Dewi pun sering bercengkrama –hanya berdua saja–, entah itu di lingkungan sekolah maupun ketika pulang dari sekolah. Tak jarang teman-teman sekelas menggodaku, “waduh-waduh, sekarnag dah punya ik, sana diterusin aja...”, namun ku tak pernah mengakuinya sebagai kekasih, karena memang tak ada satu ikatan pun yang telah mengikat hubungan kami.
Selalu mengelak, itulah yang terlalu sering kulakukan, hingga datang hari itu, hari kamis, tanggal 20 Mei, sebuah hari yang penuh sejarah, romantisme, dan komitmen antara sepasang remaja bernama Zaqi dan Dewi. Ketika itu....
“em, Wi, sebenernya, kamu tu,... mau ga sama aku?”, tanyaku penuh penasaran.
“eh, aku ga mau jawab dulu ah, lha kalo kamu ndiri gimana?”, elak Dewi dengan penuh kerendah hatian.
Melihat kesempatan inilah, dengan tegas ku berkata, “If this’s your question, so.... just your name that’s curved in my deep of heart. Ehm, you?”
Semuanya terasa sunyi bagiku, hingga jawaban pasti yang kudengar dari bibir manisnya, “Sama,”.
Memang simpel, tapi sangat berarti bagiku, seorang remaja SMA yang menginginkan indahnya taman asmara.
Hari-hari yang terasa indah kujalani dengannya, mulai dari berangkat sekolah, di perpustakaan, sampai kunjungan kelas masing-masing pernah kulakoni bersama Dewi. Dunia terasa hanya milik berdua, terlalu manis dibanding madu, terlalu harum dibanding misk, bahkan terlalu romantis dibanding suasana bulan purnama.
Tak ada lagi keyakinan yang sanggup menggoyahkan perasaanku kepada wanita sesabar, setenang, dan serendah hati Dewi. “Semuanya pasti akan baik-baik saja”, begitulah ia sering berkata padaku saat kami membicarakan suatu masalah.
Apalagi, ditambah sebuah prinsip yang kujaga saat itu adalah, “masalah jodoh dan pasangan, cari sendiri lah”, hingga nasehat orang tua tentang segala sesuatu tentang buruknya pacaran tak pernah kuhiraukan. Aku hanya menganggap semua itu sebagai pandangan pragmatis dan primitif.
Memang tak heran, seorang Zaqi yang selama ini tak mengenal kata pacaran kemudian menjadi seperti ini. Setiap orang yang melihat kami berduaan sering menggoda seraya berkata, “Wah, wah... ayo terusin !!!”, bahkan kadang kami pun merasa risih sendiri. Mulai dari guru, satpam, sampai-sampai adik-adik kelas, semuanya mengenal kami sebagai sepasang kekasih. Bahkan guru matematikaku, Bu Yuni, sering bergurau di kelas, “Waduh-waduh Zaqi, abis ketemuan jadi semangat benget nich...”.
Hari-hari yang kupandang indah itu berlangsung hampir selama satu tahun. Namun tak ada yang bisa menolak kehendak takdir. Saat itu...
Sebuah mimpi yang sempat terngiang di pikiranku, sekolah gratis di UGM serta mendapatkan beasiswa adalah tujuanku pada hari itu, pendaftaran SNMPTN jalur undangan. Terlalu bersemangat, bahkan hampir satu hari full aku berada di depan layar LED PC kebanggaanku. Tanpa sadar, aku terkulai lemas saat maghrib, seakan tidur dan bermimpi, ku tak berdaya menjawab seruan keluargaku yang menggaungkan nama “Zaqi”. Gelap dan hampa, itulah yang kurasakan, mungkin terlalu sulit untuk dideskripsikan. Namun, yang jelas, keluarga tercinta lah yang membawaku ke UGD terdekat, hingga ku hanya bisa terperanga dengan senyum kaku dan keringat yang bercucuran di sekujur tubuhku. Hampir semua kawan dekat, kerabat, dan bahkan orang tuaku jauh-jauh datang dari luar kota, beberapa jam setelah kejadian itu. Linglung, dan bingunglah yang menjadi temanku saat itu, saat semua orang menjengukku dengan penuh kekhawatyiran bak keluarga besar yang berkumpul kala lebaran datang.
Saat itulah, mungkin, waktu yang tepat untuk menguak semua ceritaku dengan Dewi kepada keluargaku, mengingat hanya medali keraguan yang pantas disematkan kepadaku tanpa nama kebanggaan sedikitpun. Karena kebohongan, kekecewaan, dan bahkan mungkin penghianatan yang tengah kuberikan pada mereka, dengan merahasiakan kisahku selama hampir genap sembilan bulan. Hingga sang pujaan hati pun datang, Dewi dengan penuh keharuan menjengukku, kerudung hitamnya menandakan keharuan, bahkan matanyapun berka-kaca layaknya orang yang ingin menangis. “mas, mas Zaqi, bangun donk.... ni aku, Dewi, Mas, mas?”, sambil bercucuran air mata ia memanggilku. Kecurigaanpun menjadi buah dari peristiwa itu, saat aku kembali dari rumah sakit, dalam jarak penyembuhan selama satu minggu, keluargaku pun menanyakan perihal Dewi yang kian lama kian mencurigakan. Namun, dengan penuh kemunafikan, aku menjawab, “ah Cuma temen kok”. Terlalu aneh, namun mereka masih mau memercayaiku.
Hati yang seakan telah terracuni inipun seakan masih ingin melanjutkan sandiwara terlarang ini, bahkan hubunganku dengan Dewi menjadi semakin mesra pasca kejadian itu. Kami sering jalan pagi bareng selama berjam-jam, gendong-gendongan, bahkan pelukanpun sudah terlalu sering saat kami berdua. Saat itu pula, aku mulai mempertanyakan tentang adanya kebutaan cinta, apaka senikmat ini?. Kumulai mempertanyakan tentang apa yang sudah kulakukan, mulai dari berbohong pada keluarga, sampai menyembunyikan jati diriku sebagai pecinta kebebasan hanya demi seorang gadis, yang belum tentu menjadi pasangan hidupku kelak. “Sebenarnya, apa ini yang aku inginkan???”, sering ku bergumam dalam hati.
Konflik batin yang semakin menjadi-jadi, memaksaku memunculkan ide tentang pemutusan hubungan. Namun, kontak batin dan hubungan antara aku dan Dewi sudah terlalu dalam, hingga selalu bersamalah yang menjadi pilihanku. Bahkan ku kerap menuliskan “Dewi, I hope....., I can love you forever”. Memang terlalu naif.
Takdirpun berkata lain, karena ternyata secara diam-diam salah seorang saudaraku –secara eksklusif disuruh oleh keluargaku–, Gery melakukan pengintaian terhadap gerak-gerikku, khususnya yang berhubungan dengan Dewi. Hal itupun dibantu oleh teman-teman sekolahku, hingga pada hari Kamis, tepat sehari setelah perayaan ulang tahunku, mata-mata pun mendapatkan bukti yang cukup, dan pada malam Jum’at itu pula, aku secara tegas mendapatkan sentilan keras dari ibuku, “Kalau memang kamu masih pengen sekolah, tinggalkan dia, si Dewi ga tau diri itu !!!, atau, kalau memang kamu pengen sama dia, mulai sekarang juga ga usah sekolah sekalian, langsung nikah sana sama orang itu !”. jiwa pemberontakku pun bergejolak, terlintas di benakku, mempertahankan Dewi adalah sebuah keharusan.
Namun, dengan penuh kesadaran, kupertimbangkan lagi, dan kuingat-ingat dengan betul nasehat-nasehat ibuku dalam hal ini. Setelah berpikir matang, akupun menghubungi Dewi dan menceritakan semuanya pada gadis yang namanya masih terngiang-ngiang itu. Tak dapat kugambarkan rasa sakit hatinya, namun dengan penuh kesabaran, Dewi menjawab,”kalau masalah itu terserah mas aja, pokoknya aku pengen yang terbaek aja buat kita, terlebih buat mas”. Mendengar perkataannya, akupun tak kuasa menahan air mata yang sebelumnya hanya menggerombol bak busa sabun dalam kolam renang.
Keesokan harinya, dengan penuh haru kukatakan padanya, “emmm, dek, kita putus aja za.... soalnya gimana lagi?, emang bener yang dikatakan ibu: yang penting kita raih cita-cita dkita dulu ya. Carilah penggantiku, siapapun ga apa ap, yang penting ia bisa menjagamu dan lebih baik dariku. Masalah kita bisa ketemu lagi ato ndak, takdir kan di tangan Allah”. Lagi-lagi ia menunjukkan tingkat kesabaran yang mungkin tak dapat kugambarkan, “ya, ga pa pa”, ia menjawab.
Patah hati, sakit hati, penyesalan, kesendirian, kemarahan, bercampur jadi satu dalam jiwa. Bahkan aku membutuhkan waktu selama dua bulan untuk sekedar tidak membayangkannya. Sebuah akhir yang terlalu sakit dan dalam untuk ukuran hati serapuh punya Zaqi.
Evaluasi, itulah yang kulakukan selama dua bulan kemudian, mulai dari menelaah hakikat cinta sejati, sampai menyendiri di kamar demi mencari ketenangan hati. Tak sia-sia, karena setelah itu, akupun dapat mendapatkan sebuah pelajaran tentang, “Cinta sejati adalah cinta kita terhadap Tuhan, karena tak ada kata patah hati disana”.
Sedangkan dalam hal pendidikan, ku meyakini bahwa sangat jarang seseorang yang dapat menyeimbangkan antara kasmaran dan pelajaran, karenas hal itu memang sangat sulit, bahkan bagi seorang Zaqi, seorang intelektual kecil. Maka jangan terlalu mudah berkata, “Pasangan akan jadi semangat dalam belajar”, karena hal itulah yang biasanya menjadi motivasi seseorang untuk menerobos batas pengikat nafsu yang selama ini membelenggunya. Setelah ku berpaham seperti ini, hanya kebahagiaan dan kenyamanan yang kudapat, karena kebebasan dalam bergaul dan berteman (bukan berpacaran) yang tak terbatas. Hingga kini kubisa berkata pada murid-muridku bahwa, “Jangan umbar cintamu (pacaran), selama kau belum sasnggup mengendalikannya”

just a dreamer
#bHB

1 Response to "Cerpen Perpisahan (kisah nyata)"

sst, aq tau lho, Zak...

Balas
  • Berkomentarlah dengan sopan dan bijak sesuai dengan isi konten.
  • Komentar yang tidak diperlukan oleh pembaca lain [spam] akan segera dihapus.
  • Apabila artikel yang berjudul "Cerpen Perpisahan (kisah nyata)" ini bermanfaat, share ke jejaring sosial.
Konversi Kode