judul:
Kegagalan cinta ….. adalah sebuah Keberhasilan
“Aku
sekarang dapat tersenyum dengan tenang, karena semuanya telah kutinggalkan,
dekapan kesusahan telah kuhancurkan, kobaran api yang bersuhu tak terhitung
nilainya telah kupadamkan dengan kesejukan keikhlasan. Senyum inilah yang aku
inginkan. Senyum yang sesungguhnya, tanpa lara, tanpa duka, hanya bahagia.”
Memang sekarang,
aku bisa merasakan semua itu, menghirup udara pagi nan segar, meerasakan
terpaan angin berhembus semilir, menyerap hangatnya terpaan cahaya mentari yang
makin terlihat cerah, seakan terrsenyum melihat kelahiranku kembali.
Tiap waktu dhuha
mulai terbit, tersimpuhku dihadapanNya, Sang Ilahi dengan penuh keyakinan akan
takdir yang akan segera kujalani. Lalu, kupandangi jalan panjang depan rumahku,
jalan panjang nan seakan tak ada ujungnya. Dengan tersenyum ku berguman,
“Disitulah banyak kenanganku bersamanya”. Dewi, memang sebuah nama simple yang
dulu pernah bersafari di dalam pikiranku, melekat di setiap detakan nadiku,
bahkan menyatu dengan nafas harianku, terasa nyaman.
Saat yang selalu ku
ingat, mungkin itulah keadaan terberat dalam perjalanan hidupku sebagai seorang
remaja, semua mata memandangku sinis, semua hujatan dan cacian terlempar
kepadaku, bahkan kepercayaanpun tak ada harganya lagi. Sebuah akhir cerita yang
menyakitkan, saat semua love story
kami harus berakhir tanpa pengampunan, kesalahan, kebencian, serta kenafian
kasih, namun terlalu sakit dan berat, lunglai tak berdaya, senyumpun terasa
kaku, bahkan kesendirian enggan menyapaku, hanya ‘sendiri’ tak berdaya.
Memang, semuanya
berawal secara kebetulan, terlalu sulit untuk ditolak, bahkan merasa semuanya
akan jadi sempurna –tanpa hambatan–. Dewi, wanita sederhana yang ‘hampir
sempurna’ itu hadir di saat yang tepat, di tengah-tengah kegalauan hati. Semua
penafian penerimaan itu membuatku agak patah arang, namun itulah satu alasan
pokok mengapa ku tak sanggup menolak gadis seanggun Dewi. Memang semua itu tak
pantas, macam kebohongan, ketidakadilan, kekecewaann, dan kemunafikan, bukanlah
hal yang pantas untuknya. Namun kesabaran yang ia miliki, membuatku semakin bersemangat
untuk mendapatkannya.
Waktu itu, sebuah
awal yang biasa saja, semula hanya titipan salam yang kudapatkan lewat temanku,
Ovi, “Eh, Zaq, dapet salam tuch dari fans kamu, orangnya…. Rahasia dech”,
begitulah sang ‘pembawa pesan’ itu berujar padaku. Memang tak terlalu
kuhiraukan, karena memang perjalanan asmaraku di kala itu mengalir bak air
terjun nan jatuh dari ketinggian satu kilometer. Nita, nama gadis yang saat itu
sedang dekat dengan jejaka bernama Zaqi –aku–. Secara jelas, memang kami tak
mengikat hubungan kami sebagai kekasih, namun semua tingkah, perbuatannya lah
yang membuatku jatuh hati tanpa sadar. Manis, dan indah, dua kata yang tepat
untuk mengggambarkan suasana kami berdua di kala itu.
Awal cerita kami,
dimulai saat akhir penghujung Ramadhan datang, sebuah awal yang mngejutkan,
karena ia memintaku menjadi ‘guru privat’ sekaligus teman curhatnya, dua hal
yang mengharuskan kami berdua untuk selalu dekat. Disini, satu peribahasa yang
kutakutkan, “Witing tresna jalaran saka kulina”, begitulah salah seorang
temanku, Toni, berkata padaku seraya melontarkan guyonan sinis, “Mengko suwe-suwe rak yo seneng”. Hingga waktu
pasca-lebaran pun mulai menghampiri, sekolah kami MA Yaspia telah memulai
civitas akademikanya. Tak kuduga, ia menghampiriku, dengan mata berkaca-kaca,
seakan ingin memuntahkan air mata, “Zaq, plis…. Bantu aku, aku lagi ada masalah
nich, mau curhat… pliiiis”. Tak sanggup ku menahan rasa iba, lalu kusambut ia
dengan senyum sedu nan ramah, “Kenapa?, ada apa Nit?, jangan nangis terus donk,
nanti cantiknya hilang lho”. Dengan rona wajah yang mulai mengembangkan senyum,
ia pun cerita tentang masalahnya, dan aku pun dengan cermat memperhatikan, dan
memberinya sedikit wejangan dan nasehat yang mungkin tak terlalu berarti
untuknya.
Dengan penuh
keterkejutan, awal yang krusial itu membuatku menabuh genderang asmara,
mengobarkan bendera kasih sayang untuk Nita. Bahkan semenjak itu, Nita sering
menjadikanku teman curhat privat yang mungkin semua rahasianya telah ku
ketahui. Tak hanya sampai disitu, Nita yang juga mempunyai masalah dalam
belajar pelajaran bahasa juga sering mengajakku belajar bersama –tentu akulah
yang jadi tutor baginya–. “Zaqi memang tak ganteng-ganteng amat, tapi kalo
masalah pelajaran, apapun kulawan”, dengan penuh semangat hatiku berujar.
Menyenangkan, penuh semangat, selalu mendapatkan hal-hal baru, hingga tak sadar
dengan jalur pendidikan (ibarat seorang guru dan murid), aku pun jatuh hatit
kepadanya, terlalu dalam dan tulus. Tingkat kepercayaan-diriku menggelembung
tak keruan.
Mulai dari belajar
di ruang kelas XI IPA kami tercinta, perpus MA Yaspia, laboratorium, hingga
pulang bareng pernah kulakoni bersamanya. Ya, hal itulah yang semakin membuatku
terhipnotis oleh buaian nada-nada asmara nan merdu dan indah. Sweet Love Story, itulah sebuah software
yang mulai terbangun dalam program-program dalam pikiranku, bahkan tak jarang,
dengan senyum nan mengembang, aku berkata dalam hati, “Sudah calon hafidhoh, cantik, baik, pengertian, enak
diajak ngomong pula, seempurna inikah jodohku???”, hal itu tak pelak membuatku
terlalu berharap padanya. Apalagi senyum lembut nan manisnya yang sering
terlihat menghiasi wajahn eloknya, semakin membuatku yakin.
Saat-saat manis
yang kualami bersama Nita memang terlalu dekat, hampir sempurna, ditambah lagi,
karena sering belajar bersama dengan Nita, aku menemukan semangat “Menjadi
lebih pandai untuk mengajar siapapun dan menjadi lebih baik untuk melayani
siapapun”. Dua hal, antara ilmu dan moral itulah yang dapat kuambil dari
semangat Nita, bahkan tanpa ragu namanya kuukir dalam sebuah blog yang mungkin
kini tengah usang bernama iloramapa@................
Memang kami berdua
sering bersama-sama, baik di ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, maupun
tempat-tempat bernuansa ‘pendidikan’ lainnya. Hingga tak heran, jika kadang
akupun belajar lebih giat, rajin membaca, dan tak jarang bertanya pada guru,
“Demi ngajar dan nggak kikuk saat ada
di depan Nita, kan harus makin serius belajarnya”, sering ku berkata seperti
itu pada kawan-kawanku.
Semuanya menjadi
semakin menyenangkan, saat ia berkata dengan senyum tersipu, “Enak ya, kalo
punya temen, apalagi pacar kayak kamu, udah pinter, baek, enak diajak ngomong,
…. Tapi, ga jadi dech, abisnya kamu kecil siech, hehehehe… maaf pak guru, guru
kecilku?, Cuma becanda”, celotehan yang semakin membuatku gemas kepadanya.
“Guru kecil”, panggilanku yang sering ia lontarkan kepadaku, memang aneh, tapi
menurutku itu unik, dan hal yang uniklah yang sering kuburu.
Pernah, saat jam
kelas kami kosong, aku dan Nita duduk di depan kelas, ngobrol tentang
‘masalah’nya, ia curhat kepadaku dengan penuh semangat, “eh, aku udah dua
minggu ga ngomong, ga sms dia, tapi kayaknya dia …… (bla…bla…bla)”. Saking semangatnya
ia curhat, dan saking seriusnya aku mendengarkan, kami berduapun tak sadar akan
kedatangn guru Bahasa Arab kami, Pak Mukhsin, beliaupun menegur kami, “Lho,
lho, lho …. Jam bebas kok malah berduaan disini, ga liat apa yang lain udah
pada masuk”. Dengan wajah gugup, akupun memandangi sekitar, tak seorangpun yang
kutemukan, kecuali seorang gadis yang memang duduk di sampingku, Nita dengan
senyum gugup pula.
Sebuah kejadian
yang tak kalah hebat efeknya terjadi di ruang perpustakaan. Waktu itu, adalah saat
jam pelajaran terakhir, karena kelas kami kosong, kami berduapun langsung
menuju perpustakaan, gudangnya ilmu. “Zaq, yuk ke perpus yuk, aku mau diajarin
bahasa arab donk....”, tanpa sungkan Nita mengajakku. Akupun menyanggupinya.
Pada awalanya, memang ada, beberapa siswa lalu lalang di dalam ruangan yang
sunyi itu, namun sekejap –tak terasa– kemudian, tak satupun orang –kecuali kami
berdua dan petugas perpus yang sedang mengantuk– yang berada disana. Kamipun
tetap asyik belajar, karena memang itulah tujuan kami, bukan yang lain. Tak
lama bel tanda berakhirnya jam terakhirpun berbunyi, “Dingdong....”, bunyi
sebayak empat kali itu tak menghentikan kami yang sedang asyik-asyiknya
mengkaji bahasa arab (Nahwu dan Shorof). Terkaget, saat mas Yanto, penjaga perpustakaan
menyindir kami, “eh, malah asyik pacaran, ga denger bunyi bel ya? mau pada
pulang, atau kukunci kalian berdua disini?”. Saat itu pula, kami berdua baru
sadar lamanya waktu terlewat dan sunyinya ruangan itu –karena hanya kami berdua
yang di situ–.
Kejadian,
pengalaman, serta keadaan yang tak disengaja, namun berkesan romantis seperti
inilah yang sangat sulit kutolak. Aku manusia biasa, menyukai kenyamanan dan
ketenangan jiwa, keindahan, dan kecantikan. Semua itu membuatku terlena, bahkan
sempat ingin memilikinya sebagai kekasih. Padahal, sebelumnya, Nita sudah
kuanggap sebagai adik sendiri, dan sebagai murid yang membutuhkan guru
sekaligus teman.
Hasrat itupun
menggebu, bahkan lewat sindiran, aku pernah menggodanya, “Em, kalau aku yang
jadi pacarmu, aneh donk.... Nit?”, terkadang, “Nit, masak aku sich yang harus
jadi suami kamu nanti, ...”. semuanya hanya ia balas dengas senyum manis seraya
menyindir pula, “enggak ah, masak kamu, nanti ada yang marah...?”, terkadang,
“Emh, kalau kamu yang jadi suamiku, nanti anaknya gimana donk, masak pesek, atau malah cebol kayak kamu...? Ihhhhh”. Meski begitu, Nitapun sering
menyanjungku, “Kalau aku nanti punya anak, pengen dech yang kayak kamu, pinter,
jenius, pokoknya yang puinter banget kayak kamu gitu ......, tapi bukan
kecilnya lho ya..”, sambil tersenyum ngledek,
tapi tetap manis.
Dalam perjalanan
cerita asmaraku dengan Nita yang tak kunjung dapat diwujudkan, karena seperti
pepatah mengatakan, “Tak mungkin kau menjadikan sahabat, sebagai kekasih”,
hingga mungkin memang kami hanya dapat membangun hubungan friendship saja.
Akupun berniat
untuk menyudahi perasaanku terhadap gadis yang telah memberikan banyak warna
dalam hidupku itu. Ku mencoba untuk sering menjauhinya, mengabaikan ajakan
belajarnya, bahkan hanya menyapa sekedarnya ketika bertemu. “Zaq, ke perpus yuk
.....!!!”, dengan penuh harapan ia memintaku, “Sorry Nit, aku gi ada urusan ik,
ga bisa....”, terlalu kejam –tanpa penjelasan dan pemahaman–, itulah yang
mungkin telah kulakukan, dalam misi penghapusan getar-getar asmaraku.
Di saat-saat
itulah, seorang Dewi mulai mengisi kekosongan hati ini, tak terperikan hati ini
ketika harus menuliskan, “sorry, because for now, I can’t give you again
everything that was given .....” kepada calon jodoh nan hampir sempurna itu.
Mulai saat itulah, ku hanya menaganggap Nita sebagai teman, dan kami berduapun
tidak terlalu sering berduaan lagi.
Dewi pun secara
gencar menitipkan secuil ucapan salam yang selalu dititipkan kepada Ovi, teman
sekelasku. Bahkan, secara kebetulan, pasca tragedi penghapusan perasaanku
terhadap Nita, ia pun memberi sedikit petunjuk tentang identitasnya, “Em, mau
tau ga, fansmu itu anak kelas IX, trus, kalo berangkat skul lewat depan rumahmu
lho ... coba aja cari ndiri, ok !!!”. Penasaran memang salah satu sifat
alamiku, tanpa berniat apapun, aku mencoba melacak ‘keberadaan’nya.
Memang, dengan
santai ku mencoba mencarinya. Namun, secara pasti, aku menemukannya dengan
warna kuning tasnya sebagai clue terakhirku. “Warna tasnya, pokoknya
kuning-kuning kayak gini lah”(sambil menunjuk kulit pisang di tong sampah),
ujar Ovi dengan penuh keseriusan.
Setelah
identitasnya di tanganku, Dewi pun mulai malu-malu
kucing jika bertemu denganku. Hanya senyum hangatlah yang dapat
kuperlihatkan padanya, sambil menganggukkan kepala –ciri khasku saat bertemu
orang–. Namun, sikap Dewi memang terlalu tenang, terlalu sunyi untuk
dideskripsikan, hingga kami hanya pandang-memandang selama satu minggu.
Penyakit malu yang aku miliki memang sangat kuat pada saat itu, namun, hanya membutuhkan
sapaan lembut untuk menghapus sikap primitif itu, “Chuewek.... sebenernya dah
sejak kapan toh?”, dengan gerogi ku menyapanya. Bukannya bingung, tapi dengan
pasti Dewi –gadis yang mungkin telah menjadi bayangan yang selalu datang di
setiap mimpi-mimpiku– menjawab dengan senyum cantik nan menawan, “Ahh, terjadi
begitu adja tuch...”. kemudian iapun menambahi, “Pokoknya awalnya, aku terkesan
adja gitu sama kamu, trus keterusan kayak gini dech,,”.
Sejak itu, kami
berdua tak lagi sungkan saat bertemu. Dewi yang notabennya adik kelasku itu
sering memintaku untuk membantunya dalam belajar. Memang mungkin memang hal
itulah yang bisa kulakukan untuk gadis-gadis remaja yang pernah menyemerbakkan
harumnya asmara dalam kehidupanku.
Tak jauh berbeda
dengan kisahku dengan Nita, aku dan Dewi pun sering bercengkrama –hanya berdua
saja–, entah itu di lingkungan sekolah maupun ketika pulang dari sekolah. Tak
jarang teman-teman sekelas menggodaku, “waduh-waduh, sekarnag dah punya ik,
sana diterusin aja...”, namun ku tak pernah mengakuinya sebagai kekasih, karena
memang tak ada satu ikatan pun yang telah mengikat hubungan kami.
Selalu mengelak,
itulah yang terlalu sering kulakukan, hingga datang hari itu, hari kamis,
tanggal 20 Mei, sebuah hari yang penuh sejarah, romantisme, dan komitmen antara
sepasang remaja bernama Zaqi dan Dewi. Ketika itu....
“em, Wi,
sebenernya, kamu tu,... mau ga sama aku?”, tanyaku penuh penasaran.
“eh, aku ga mau
jawab dulu ah, lha kalo kamu ndiri gimana?”, elak Dewi dengan penuh kerendah
hatian.
Melihat kesempatan
inilah, dengan tegas ku berkata, “If this’s your question, so.... just your
name that’s curved in my deep of heart. Ehm, you?”
Semuanya terasa
sunyi bagiku, hingga jawaban pasti yang kudengar dari bibir manisnya, “Sama,”.
Memang simpel, tapi
sangat berarti bagiku, seorang remaja SMA yang menginginkan indahnya taman
asmara.
Hari-hari yang
terasa indah kujalani dengannya, mulai dari berangkat sekolah, di perpustakaan,
sampai kunjungan kelas masing-masing pernah kulakoni bersama Dewi. Dunia terasa
hanya milik berdua, terlalu manis dibanding madu, terlalu harum dibanding misk,
bahkan terlalu romantis dibanding suasana bulan purnama.
Tak ada lagi
keyakinan yang sanggup menggoyahkan perasaanku kepada wanita sesabar, setenang,
dan serendah hati Dewi. “Semuanya pasti akan baik-baik saja”, begitulah ia
sering berkata padaku saat kami membicarakan suatu masalah.
Apalagi, ditambah
sebuah prinsip yang kujaga saat itu adalah, “masalah jodoh dan pasangan, cari
sendiri lah”, hingga nasehat orang tua tentang segala sesuatu tentang buruknya
pacaran tak pernah kuhiraukan. Aku hanya menganggap semua itu sebagai pandangan
pragmatis dan primitif.
Memang tak heran,
seorang Zaqi yang selama ini tak mengenal kata pacaran kemudian menjadi seperti ini. Setiap orang yang melihat
kami berduaan sering menggoda seraya
berkata, “Wah, wah... ayo terusin !!!”, bahkan kadang kami pun merasa risih
sendiri. Mulai dari guru, satpam, sampai-sampai adik-adik kelas, semuanya
mengenal kami sebagai sepasang kekasih. Bahkan guru matematikaku, Bu Yuni,
sering bergurau di kelas, “Waduh-waduh Zaqi, abis ketemuan jadi semangat benget
nich...”.
Hari-hari yang
kupandang indah itu berlangsung hampir selama satu tahun. Namun tak ada yang
bisa menolak kehendak takdir. Saat itu...
Sebuah mimpi yang
sempat terngiang di pikiranku, sekolah gratis di UGM serta mendapatkan beasiswa
adalah tujuanku pada hari itu, pendaftaran SNMPTN jalur undangan. Terlalu
bersemangat, bahkan hampir satu hari full
aku berada di depan layar LED PC kebanggaanku. Tanpa sadar, aku terkulai lemas
saat maghrib, seakan tidur dan bermimpi, ku tak berdaya menjawab seruan
keluargaku yang menggaungkan nama “Zaqi”. Gelap dan hampa, itulah yang
kurasakan, mungkin terlalu sulit untuk dideskripsikan. Namun, yang jelas,
keluarga tercinta lah yang membawaku ke UGD terdekat, hingga ku hanya bisa
terperanga dengan senyum kaku dan keringat yang bercucuran di sekujur tubuhku. Hampir
semua kawan dekat, kerabat, dan bahkan orang tuaku jauh-jauh datang dari luar
kota, beberapa jam setelah kejadian itu. Linglung, dan bingunglah yang menjadi
temanku saat itu, saat semua orang menjengukku dengan penuh kekhawatyiran bak
keluarga besar yang berkumpul kala lebaran datang.
Saat itulah,
mungkin, waktu yang tepat untuk menguak semua ceritaku dengan Dewi kepada
keluargaku, mengingat hanya medali keraguan yang pantas disematkan kepadaku
tanpa nama kebanggaan sedikitpun. Karena kebohongan, kekecewaan, dan bahkan
mungkin penghianatan yang tengah kuberikan pada mereka, dengan merahasiakan
kisahku selama hampir genap sembilan bulan. Hingga sang pujaan hati pun datang,
Dewi dengan penuh keharuan menjengukku, kerudung hitamnya menandakan keharuan,
bahkan matanyapun berka-kaca layaknya orang yang ingin menangis. “mas, mas
Zaqi, bangun donk.... ni aku, Dewi, Mas, mas?”, sambil bercucuran air mata ia
memanggilku. Kecurigaanpun menjadi buah dari peristiwa itu, saat aku kembali
dari rumah sakit, dalam jarak penyembuhan selama satu minggu, keluargaku pun
menanyakan perihal Dewi yang kian lama kian mencurigakan. Namun, dengan penuh
kemunafikan, aku menjawab, “ah Cuma temen kok”. Terlalu aneh, namun mereka
masih mau memercayaiku.
Hati yang seakan
telah terracuni inipun seakan masih ingin melanjutkan sandiwara terlarang ini,
bahkan hubunganku dengan Dewi menjadi semakin mesra pasca kejadian itu. Kami
sering jalan pagi bareng selama berjam-jam, gendong-gendongan,
bahkan pelukanpun sudah terlalu sering saat kami berdua. Saat itu pula, aku
mulai mempertanyakan tentang adanya kebutaan cinta, apaka senikmat ini?.
Kumulai mempertanyakan tentang apa yang sudah kulakukan, mulai dari berbohong
pada keluarga, sampai menyembunyikan jati diriku sebagai pecinta kebebasan
hanya demi seorang gadis, yang belum tentu menjadi pasangan hidupku kelak.
“Sebenarnya, apa ini yang aku inginkan???”, sering ku bergumam dalam hati.
Konflik batin yang
semakin menjadi-jadi, memaksaku memunculkan ide tentang pemutusan hubungan.
Namun, kontak batin dan hubungan antara aku dan Dewi sudah terlalu dalam,
hingga selalu bersamalah yang menjadi pilihanku. Bahkan ku kerap menuliskan
“Dewi, I hope....., I can love you forever”. Memang terlalu naif.
Takdirpun berkata
lain, karena ternyata secara diam-diam salah seorang saudaraku –secara
eksklusif disuruh oleh keluargaku–, Gery melakukan pengintaian terhadap gerak-gerikku,
khususnya yang berhubungan dengan Dewi. Hal itupun dibantu oleh teman-teman
sekolahku, hingga pada hari Kamis, tepat sehari setelah perayaan ulang tahunku,
mata-mata pun mendapatkan bukti yang
cukup, dan pada malam Jum’at itu pula, aku secara tegas mendapatkan sentilan keras dari ibuku, “Kalau memang
kamu masih pengen sekolah, tinggalkan dia, si Dewi ga tau diri itu !!!, atau,
kalau memang kamu pengen sama dia, mulai sekarang juga ga usah sekolah
sekalian, langsung nikah sana sama orang itu !”. jiwa pemberontakku pun
bergejolak, terlintas di benakku, mempertahankan Dewi adalah sebuah keharusan.
Namun, dengan penuh
kesadaran, kupertimbangkan lagi, dan kuingat-ingat dengan betul nasehat-nasehat
ibuku dalam hal ini. Setelah berpikir matang, akupun menghubungi Dewi dan
menceritakan semuanya pada gadis yang namanya masih terngiang-ngiang itu. Tak
dapat kugambarkan rasa sakit hatinya, namun dengan penuh kesabaran, Dewi
menjawab,”kalau masalah itu terserah mas aja, pokoknya aku pengen yang terbaek
aja buat kita, terlebih buat mas”. Mendengar perkataannya, akupun tak kuasa
menahan air mata yang sebelumnya hanya menggerombol bak busa sabun dalam kolam
renang.
Keesokan harinya,
dengan penuh haru kukatakan padanya, “emmm, dek, kita putus aja za.... soalnya
gimana lagi?, emang bener yang dikatakan ibu: yang penting kita raih cita-cita
dkita dulu ya. Carilah penggantiku, siapapun ga apa ap, yang penting ia bisa
menjagamu dan lebih baik dariku. Masalah kita bisa ketemu lagi ato ndak, takdir
kan di tangan Allah”. Lagi-lagi ia menunjukkan tingkat kesabaran yang mungkin
tak dapat kugambarkan, “ya, ga pa pa”, ia menjawab.
Patah hati, sakit
hati, penyesalan, kesendirian, kemarahan, bercampur jadi satu dalam jiwa.
Bahkan aku membutuhkan waktu selama dua bulan untuk sekedar tidak
membayangkannya. Sebuah akhir yang terlalu sakit dan dalam untuk ukuran hati
serapuh punya Zaqi.
Evaluasi, itulah
yang kulakukan selama dua bulan kemudian, mulai dari menelaah hakikat cinta
sejati, sampai menyendiri di kamar demi mencari ketenangan hati. Tak sia-sia,
karena setelah itu, akupun dapat mendapatkan sebuah pelajaran tentang, “Cinta
sejati adalah cinta kita terhadap Tuhan, karena tak ada kata patah hati
disana”.
Sedangkan dalam hal
pendidikan, ku meyakini bahwa sangat jarang seseorang yang dapat menyeimbangkan
antara kasmaran dan pelajaran, karenas hal itu memang sangat sulit, bahkan bagi
seorang Zaqi, seorang intelektual kecil. Maka jangan terlalu mudah berkata,
“Pasangan akan jadi semangat dalam belajar”, karena hal itulah yang biasanya menjadi
motivasi seseorang untuk menerobos batas pengikat nafsu yang selama ini membelenggunya. Setelah ku berpaham seperti ini, hanya
kebahagiaan dan kenyamanan yang kudapat, karena kebebasan dalam bergaul dan
berteman (bukan berpacaran) yang tak terbatas. Hingga kini kubisa berkata pada murid-muridku bahwa, “Jangan umbar
cintamu (pacaran), selama kau belum sasnggup mengendalikannya”
just a dreamer
#bHB
#bHB
1 Response to "Cerpen Perpisahan (kisah nyata)"
sst, aq tau lho, Zak...
Balas