Masih teringat dengan jalas, betapa banyaknya
kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Kebanyakan berlatar politik.
Kepentingan sebagian kelompok atau organisasi tertentu. Mulai dari agama,
ormas, partai, bahkan sampai popularitas menjadi lahan empuk bagi berseminya
“hobi” itu. Apakah kepentingan tersebut se-urgen itu? Hingga mengorbankan yang
lain.
Tanpa disadari, ke-mandiri-an lah kelemahan
kita semua. Kita tidak terbiasa berfikir “sendiri”, mengesampingkan formalitas
dan huru-hara yang ada. Hasilnya, kita hanya ikut “grudak-gruduk” yang lain
tanpa tahu menahu apa yang terjadi sebenarnya. Apa yang kurang dari kita
semua???
Independen. Ya, kata sifat yang sering
dipakai dalam menyebut badan khusus atau lembaga khusus ini memiliki beberapa
arti. Berdasarkan English Dictionary of
Wikipedia, independent berati 'bebas',
'merdeka' atau 'berdiri sendiri'.[1]
Sedangkan, menurut beberapa ahli, pengertian independensi adalah suatu keadaan
atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya keberadaan
kita adalah mandiri. tidak mengusung kepentingan pihak tertentu atau organisasi
tertentu.
Begitulah
sedikit makna dari independen. Titik poinnya adalah mandiri dan tidak terikat. Ini
merupakan modal penting bagi kita, terlebih bagi bangsa “bobrok” ini –dimana politik
merajalela dan membabi buta-. Yang sangat miris, adalah betapa bukti
ketidak-independen-an kita. Kasus korupsi yang tak kunjung berakhir, bahkan termasuk
5 “nominasi” Negara terkorup di dunia tahun ini, menjadi dampak hebat. Tentu bukan hanya politik itu sendiri
korbannya, namun bidang-bidang lain, mulai ekonomi, social, budaya, dan
pendidikan pun ikut merasakan imbasnya. Kebobrokan itu memang didasari “kepentingan”
semata, baik individu, kelompok, bahkan keluarga.
Tindakan nyata
Bukan sekedar
teori yang kita butuhkan untuk menanamkan jiwa Independen, namun pembiasaan
dalam kehidupan sehari-hari. Ada setidaknya tiga poin penting yang harus
dipenuhi. Yang pertama, tentukan misi/tujuan yang jelas. Hal ini sangat
berkaitan dengan bagaimana kita bisa kuat memagang keyakinan dan maksud (goal). Bahkan hal ini pula, yang menjadi
poin dalam buku-buku motivator-otivator nasional maupun internasional, seperti Ippho
Santosa, Arie Ginanjar, dan Norman VP (Amerika). Lantas, apakah orang-orang
sukses itu juga independen? Tentu jawabannya iya. Mereka bukan hanya berpikir “mandiri”,
namun juga bertindak mandiri dengan beribu kenyataan dan pengalaman yang mereka
temui masing-masing. Tak hanya motivator, pelatih sepak bola pun punya hal yang
sama. Seperti Mourinho, yang pernah menyatakan, “Tak penting kita bermain
seperti apa, menang itulah tujuan utama”, yang kemudian dibuktikannya dengan
berkali-kali membawa tim asauhannya memenangi liga-liga bergengsi.
Yang kedua,
adalah keberanian. Keberanian berakar dari kata berani, yang tentu artinya
sudah tidak asing lagi untuk kita. Berani berarti bukan hanya kuat dan teguh
memegang pendirian, namun juga siap menghadapi dan “menolak” yang menjadi
hambatan. Dalam hal ini, sikap berani bukan lah “yang keras” atau “apatis”,
namun berani dalam arti tidak mudah diintervensi oleh pihak manapun. Bukti sejarah mengatakan bahwa dengan
keberanian pula lah, dulu Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan bangsa. Dan
sebelum itu, ada beberapa perjuangan dan perlawanan –terhadap penjajah- yang
dilakukan oleh banyak pahlawan kita. Padahal pada saa itu, banyak “paksaan”
dari pemerintahan Belanda yang tentunya tidak dapat diremehkan. Bukti lain yang
sampai sekarang –pun- masih terkenang adalah peristiwa “trisakti”. Disitu,
bukan hanya keberanian yang dipakai oleh mahasiswa-mahasisiwa se-Indonesia itu,
namun juga kecerdasan berpikir. Mereka pun tidak takut akan “ancaman”
pemerintahan.
Kemudian, yang
terakhir –yang paling aplikatif-, yaitu disiplin tinggi. tak cukup hanya misi
dan berani, tanpa adanya disiplin tinggi –mencakup keberlanjutan, kesungguhan,
dan keseriusan-, maka keduanya akan statis. Tentu disiplin akan memberikan dampak
–sangat- baik. Jepang adalah salah satu contohnya. Negara berjuluk Negeri Sakura
itu tercatat sebagai Negara dengan tingkat disiplin –masyarakatnya- paling tinggi
sedunia. Oleh karena itu pula, banyak produk asal Jepang yang mendunia dan
bahkan mludak pemasarannya. Seperti Honda
dan Yamaha, misalnya, tercatat bahwa pada April 2011, “penguasa” pasar
internasional untuk produk kendaraan bermotor adalah Honda dengan 54,75%. Disusul
Yamaha dengan angka 36,86%. Menakjubkan.
Independensi Kamil
Menjadikan ketiganya
padu dan mewujudkan “mimpi” independensi diri akan menjadi hal yang bukan
utopis lagi. Dengan tekad menghadirkan dan menanamkan –sekuat mungkin- jiwa
independen yang sempurna (Independensi
Kamil) serta mengaplikasikannya, maka seorang individu pun akan sanggup
hidup sebagai insan yang sebenarnya. Mengingat salah satu ayat suci, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib
suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka
” pun sudah cukup mengingatkan kita
betapa pentingnya jiwa independen yang begitu erat keitannya dengan hidup.
Pada akhirnya,
alam ini tidak akan mengizinkan “apapun” terjadi pada diri seseorang jika ia
tidak berbuat sesuatu. Karena itu sama artinya ia mati, tak hidup.
0 Response to "Satu Kata: Independen"