Assalamualaikum
Selamat dan Semoga Hidup damai,
Di hari yang penuh rahmat dan karunia-Nya ini, mari
kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan. Semua kesehatan, kebaikan, dan
kenyamanan hidup adalah bersumber dari-Nya.
Terima kasih kepada para hadirin yang berkenan hadir
di acara “Indonesia Bersatu untuk Umat” ini. Semoga Tuhan senantiasa
menganugerahkan kedamaian pada kita semua. Amin.
Baiklah, pada pagi yang berbahagia ini,
perkenankanlah kami memberikan sedikit kata demi kata, yang sebenarnya biasa
saja. Anda, audiens, lah yang bisa membuatnya luar biasa. Karena apa yang kami
sampaikan hanyalah sbatas teori dan wejangan, namun kita lah yang
mengaplikasikan.
Mari kita membincang tentang umat beragama di Indonesia.
Seperti yang dilansir oleh Kompas 13 Desember 2013, kerukunan umat beragama
merupakan hal yang sangat penting. Agaknya, saya juga sependapat dengan Kompas
dalam hal ini. Mengapa?
Bukankah sudah jelas, dewasa ini telah terjadi banyak
polemik yang dapat mengurangi rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Yang
sebenarnya sudah menjadi asas bersama, sila ke-3, “Persatuan Indonsia”. Terjadi
banyak sekali truth claim, terutama mengenai agama. Yang Islam membenarkan
Islamnya sendiri, yang Kristen mengagungkan ketrinitasannya sendiri, dan yang
Budha-Hindu menjustis “best” ajaran kemanusiaannya, Konghuchu keenakan dengan
hak minoritasnya, dan lain sebagainya.
Tanpa sadar, kita telah bermusuhan satu sama lain.
Banyak teror trjadi, pencekalan
dimana-mana, sabotase tempat beribadah dan aliran-aliran dalam agama. Sudah
barang tentu, sebagai warga negara yang baik, mari brsatu demi “kesatuan”
bersama.
Sebenarnya telah jelas, dalam UUD 1945, teruntuk
pasal 29 tentang kebebasan umat beragama untuk memeluk agamanya dan beribadah
berdasarkan ajaran agama. Namun, tak dapat dielakkan, sikut-sikutan tetap bisa
saja terjadi. Lantas, apa yang bisa kita lakukan?
Salah satu cara paling efektif dalam menyatukan
(lagi) umat bangsa nusantara adalah dengan membuat dan membawanya (bangsa) pada
satu simbol. Simbol ini bisa brupa hari, nama, atau yang lain (seperti hukum).
Saya teringat nasihat Gus Dur pada sambutannya mengenai natal pada tahun 1999,
“Seharusnya yang merayakan natal bukan hanya umat Kristen saja, namun seluruh
umat manusia”.
Beliau menerangkan bahwa karena Yesus (atau Isa
al-Masih) adalah juru selamat bagi seluruh uamt manusia. Maka, patut bagi smua
manusia merayakan kelahirannya. Disini, Ia bukanlah sosok “Tuhan” trinitas
seperti paham umat Kristiani. Tapi, ia dipahami sebagai sosok manusia yang
secara tidak lagsung telah membela dan mmbawa ajaran monoteistik yang
dibawanya. Kerlaannya untuk disalib, menjadi salah satu bukti nyata
kekukuhannya.
Fakta kedua adalah, kelahirannya dipercaya sebagai
awal dan permulaan Tahun masehi. Nama al-Masih menjadi sebuah sinkretisitas
jelas yang disepakati seluruh umat manusia.
Meskipun, tanggal 25 Desember sendiri masih
diperdebatkan, bahkan jelas-jelas dibantah oleh beberapa pendeta Kristiani,
namun kita perlu tahu lebih tentang sejarah natal itu sendiri. Tradisi natal
ada sejak zaman kekaisaran Romawi, yang diperitntah oleh seorang Kristian. Pada
zaman itu, terjadi perpecahan di kalangan umat, dimana antara “blok” (kelompok)
gereja yang satu dengan yang lain saling bermusuhan. Seorang jamaah gereja A
tidak boleh masuk dan beribadah di gereja B, jamaah gerja B tidak boleh
beribadah di gereja C, dan seterusnya.
Maka, pmerintah pada zaman itu ingin menghilangkan
perselisihan dengan membuat simbol-simbol dan membuat hari khusus untuk seluruh
warga ngara. Jalan agama menjadi salah satu yang paling favorit, mengingat ia
mengandung sinkretis, mitos, dan keprcayaan yang dirasa lbih mudah diterima
oleh masyarakat.
Setelah itu dibuatlah semacam sayembara, dimana
setiap daerah mengirimkan usulannya, mengenai hari dan simbol-simbol yang akan
digunakan untuk perayaan natal. Nama natal sendiri terilhami dari kelahiran
Yesus (dalam bahasa mereka: Tuhan anak). Setelah beberapa ide dikumpulkan, maka
disepakati tanggal 25 Desember dan pohon cemara sebagai pohon natal. Maka
setiap hari itu, dilakukanlah ritual-ritual khusus. Sebagai alat pemersatu.
Belajar dari apa yang dilakukan oleh pemerintah
Romawi saat itu, maka negara kita ini juga butuh simbol dan hari untuk bersatu
padu. Kalau di agama Islam ada hari raya Idul fitri, sebenarnya hampir mirip
dengan itu. Namun, mengingat, ada beberapa kelompok yang juga mempermasalahkan
tentang tanggal, hari, dan waktunya, maka hal ini pun sulit dilakukan. Negara
butuh sebuah simbol yang lebih bisa diterima oleh kebanyakan atau semua
masyarakat.
Kita jelas-jelas punya kalender nasional yang bisa digunakan
dengan maksimal. Mengenai hal ini, sebenarnya negara juga sudah punya
agena-agenda khusus, seperti Hari Ibu, Hari Pahlawan, Hari Kebangkitan, dan
hari-hari yang lain. Kan sudah ada? Hari Kemerdekaan. Tapi apa itu cukup? Tidak
Sekali lagi, kita perlu simbol. Seperti Bndera dan
garuda? Iya, semuanya memang sudah ada. Yang selama ini terjadi adalah hanya
“penggunaan”, bukan “penghayatan”. Mari kita bedakan, ketika umat Kristiani melakukan
misa natal, maka bisa dijamin, lebih dari 81% akan memejamkan mata sembari
menyanyikan lagu-lagu dnegan penuh penghayatan. Apakah, kita, bangsa Indonesia
bisa merasakan “nikmatnya” menyanyikan lagu “Indonesia Raya” barang sebentar
saja? Jelas tidak, wong buktinya masih banyak pejabat korup, mahasiswa nyontek,
dan pelaku bom bunuh diri.
Setidaknya, meskipun pengahayatan tidak bisa
dideteksi dengan mudah, negara perlu menguatkan kesadaran berbangsa dan
bernegara dngan memperbanyak simbol. Itu. Tentu, ditambahi dengan mengajarkan
di bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Misalnya, sangat mudah.
Mewajibkan sekolah-sekolah se nusantara untuk mengecat merah-putih atap
bangunan, menggunakan pin garuda di baju, dan sebagainya. Setidaknya, hal-hal
kecil semacam ini akan lebih bisa mengingatkan warga akan pentingnya sebuah
bangsa. Contoh lain adalah dengan memasangi monumen-monumen pahlawan di setiap
kota di Indonesia, musium-musium nasional, dan sebagainya. Pakai barang-barang
replika pun tak masalah, arena tujuannya edukatif. Ada juga yang lain, membuat
sayembara pahlawan, yaitu dengan membuat semacam perlombaan skala nasional
tentang pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara. Yang saya maksud bukan
“miss Indonesia”, konsepnya sama, hanya saja ia lebih aplikatif dan tidak
melulu harus kaum hawa. Perlombaan bersih desa, atau bersih kota di setiap
bulan akan dapat meningkatkan kecintaan masyarakat pada daerahnya. Intinya,
adalah, hal-hal yang bisa dilakukan masyarakat secara bersama, agar kita ingat,
siapa kita, di mana kita tinggal, dan bagaimana kita harus berbuat. Dalam
kebersamaan dan kedamaian.
Terima kasih atas perhatian para hadirin. Kita
lantangkan dua kata, “Untuk Indonedsia”
Wassalamualaikum.
0 Response to "Belajar dari Natal untuk Persatuan Bangsa"