Find, do, and show your life

Banner 468 x 60

Loading...

Belajar dari Natal untuk Persatuan Bangsa




Assalamualaikum

Selamat dan Semoga Hidup damai,

Di hari yang penuh rahmat dan karunia-Nya ini, mari kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan. Semua kesehatan, kebaikan, dan kenyamanan hidup adalah bersumber dari-Nya.

Terima kasih kepada para hadirin yang berkenan hadir di acara “Indonesia Bersatu untuk Umat” ini. Semoga Tuhan senantiasa menganugerahkan kedamaian pada kita semua. Amin.

Baiklah, pada pagi yang berbahagia ini, perkenankanlah kami memberikan sedikit kata demi kata, yang sebenarnya biasa saja. Anda, audiens, lah yang bisa membuatnya luar biasa. Karena apa yang kami sampaikan hanyalah sbatas teori dan wejangan, namun kita lah yang mengaplikasikan.

Mari kita membincang tentang umat beragama di Indonesia. Seperti yang dilansir oleh Kompas 13 Desember 2013, kerukunan umat beragama merupakan hal yang sangat penting. Agaknya, saya juga sependapat dengan Kompas dalam hal ini. Mengapa?

Bukankah sudah jelas, dewasa ini telah terjadi banyak polemik yang dapat mengurangi rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Yang sebenarnya sudah menjadi asas bersama, sila ke-3, “Persatuan Indonsia”. Terjadi banyak sekali truth claim, terutama mengenai agama. Yang Islam membenarkan Islamnya sendiri, yang Kristen mengagungkan ketrinitasannya sendiri, dan yang Budha-Hindu menjustis “best” ajaran kemanusiaannya, Konghuchu keenakan dengan hak minoritasnya, dan lain sebagainya.

Tanpa sadar, kita telah bermusuhan satu sama lain. Banyak  teror trjadi, pencekalan dimana-mana, sabotase tempat beribadah dan aliran-aliran dalam agama. Sudah barang tentu, sebagai warga negara yang baik, mari brsatu demi “kesatuan” bersama.

Sebenarnya telah jelas, dalam UUD 1945, teruntuk pasal 29 tentang kebebasan umat beragama untuk memeluk agamanya dan beribadah berdasarkan ajaran agama. Namun, tak dapat dielakkan, sikut-sikutan tetap bisa saja terjadi. Lantas, apa yang bisa kita lakukan?

Salah satu cara paling efektif dalam menyatukan (lagi) umat bangsa nusantara adalah dengan membuat dan membawanya (bangsa) pada satu simbol. Simbol ini bisa brupa hari, nama, atau yang lain (seperti hukum). Saya teringat nasihat Gus Dur pada sambutannya mengenai natal pada tahun 1999, “Seharusnya yang merayakan natal bukan hanya umat Kristen saja, namun seluruh umat manusia”.

Beliau menerangkan bahwa karena Yesus (atau Isa al-Masih) adalah juru selamat bagi seluruh uamt manusia. Maka, patut bagi smua manusia merayakan kelahirannya. Disini, Ia bukanlah sosok “Tuhan” trinitas seperti paham umat Kristiani. Tapi, ia dipahami sebagai sosok manusia yang secara tidak lagsung telah membela dan mmbawa ajaran monoteistik yang dibawanya. Kerlaannya untuk disalib, menjadi salah satu bukti nyata kekukuhannya.

Fakta kedua adalah, kelahirannya dipercaya sebagai awal dan permulaan Tahun masehi. Nama al-Masih menjadi sebuah sinkretisitas jelas yang disepakati seluruh umat manusia.

Meskipun, tanggal 25 Desember sendiri masih diperdebatkan, bahkan jelas-jelas dibantah oleh beberapa pendeta Kristiani, namun kita perlu tahu lebih tentang sejarah natal itu sendiri. Tradisi natal ada sejak zaman kekaisaran Romawi, yang diperitntah oleh seorang Kristian. Pada zaman itu, terjadi perpecahan di kalangan umat, dimana antara “blok” (kelompok) gereja yang satu dengan yang lain saling bermusuhan. Seorang jamaah gereja A tidak boleh masuk dan beribadah di gereja B, jamaah gerja B tidak boleh beribadah di gereja C, dan seterusnya.

Maka, pmerintah pada zaman itu ingin menghilangkan perselisihan dengan membuat simbol-simbol dan membuat hari khusus untuk seluruh warga ngara. Jalan agama menjadi salah satu yang paling favorit, mengingat ia mengandung sinkretis, mitos, dan keprcayaan yang dirasa lbih mudah diterima oleh masyarakat.

Setelah itu dibuatlah semacam sayembara, dimana setiap daerah mengirimkan usulannya, mengenai hari dan simbol-simbol yang akan digunakan untuk perayaan natal. Nama natal sendiri terilhami dari kelahiran Yesus (dalam bahasa mereka: Tuhan anak). Setelah beberapa ide dikumpulkan, maka disepakati tanggal 25 Desember dan pohon cemara sebagai pohon natal. Maka setiap hari itu, dilakukanlah ritual-ritual khusus. Sebagai alat pemersatu.

Belajar dari apa yang dilakukan oleh pemerintah Romawi saat itu, maka negara kita ini juga butuh simbol dan hari untuk bersatu padu. Kalau di agama Islam ada hari raya Idul fitri, sebenarnya hampir mirip dengan itu. Namun, mengingat, ada beberapa kelompok yang juga mempermasalahkan tentang tanggal, hari, dan waktunya, maka hal ini pun sulit dilakukan. Negara butuh sebuah simbol yang lebih bisa diterima oleh kebanyakan atau semua masyarakat.

Kita jelas-jelas punya kalender nasional yang bisa digunakan dengan maksimal. Mengenai hal ini, sebenarnya negara juga sudah punya agena-agenda khusus, seperti Hari Ibu, Hari Pahlawan, Hari Kebangkitan, dan hari-hari yang lain. Kan sudah ada? Hari Kemerdekaan. Tapi apa itu cukup? Tidak
Sekali lagi, kita perlu simbol. Seperti Bndera dan garuda? Iya, semuanya memang sudah ada. Yang selama ini terjadi adalah hanya “penggunaan”, bukan “penghayatan”. Mari kita bedakan, ketika umat Kristiani melakukan misa natal, maka bisa dijamin, lebih dari 81% akan memejamkan mata sembari menyanyikan lagu-lagu dnegan penuh penghayatan. Apakah, kita, bangsa Indonesia bisa merasakan “nikmatnya” menyanyikan lagu “Indonesia Raya” barang sebentar saja? Jelas tidak, wong buktinya masih banyak pejabat korup, mahasiswa nyontek, dan pelaku bom bunuh diri.


Setidaknya, meskipun pengahayatan tidak bisa dideteksi dengan mudah, negara perlu menguatkan kesadaran berbangsa dan bernegara dngan memperbanyak simbol. Itu. Tentu, ditambahi dengan mengajarkan di bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Misalnya, sangat mudah. Mewajibkan sekolah-sekolah se nusantara untuk mengecat merah-putih atap bangunan, menggunakan pin garuda di baju, dan sebagainya. Setidaknya, hal-hal kecil semacam ini akan lebih bisa mengingatkan warga akan pentingnya sebuah bangsa. Contoh lain adalah dengan memasangi monumen-monumen pahlawan di setiap kota di Indonesia, musium-musium nasional, dan sebagainya. Pakai barang-barang replika pun tak masalah, arena tujuannya edukatif. Ada juga yang lain, membuat sayembara pahlawan, yaitu dengan membuat semacam perlombaan skala nasional tentang pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara. Yang saya maksud bukan “miss Indonesia”, konsepnya sama, hanya saja ia lebih aplikatif dan tidak melulu harus kaum hawa. Perlombaan bersih desa, atau bersih kota di setiap bulan akan dapat meningkatkan kecintaan masyarakat pada daerahnya. Intinya, adalah, hal-hal yang bisa dilakukan masyarakat secara bersama, agar kita ingat, siapa kita, di mana kita tinggal, dan bagaimana kita harus berbuat. Dalam kebersamaan dan kedamaian.

Terima kasih atas perhatian para hadirin. Kita lantangkan dua kata, “Untuk Indonedsia”

Wassalamualaikum.


0 Response to "Belajar dari Natal untuk Persatuan Bangsa"

  • Berkomentarlah dengan sopan dan bijak sesuai dengan isi konten.
  • Komentar yang tidak diperlukan oleh pembaca lain [spam] akan segera dihapus.
  • Apabila artikel yang berjudul "Belajar dari Natal untuk Persatuan Bangsa" ini bermanfaat, share ke jejaring sosial.
Konversi Kode