I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Berdasar pada aspek linguistik terdapat istilah
bilingualisme dalam bahasa Indonesia yang disebut kedwibahasaan berkenaan dengan penggunaan dua bahasa
atau dua kode bahasa, masyarakat tutur yang terbuka dan mempunyai hubungan
dengan masyarakat tutur lain, tentu akan mengalami apa yang disebut kontak
bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Dengan adanya ragam komunikasi berupa dwibahasa sehingga melahirkan alih kode
dan campur kode. Sedangkan proses penggunaan sistem bahasa tertentu pada bahasa
lainnya disebut transfer.
Bahasa yang memiliki peran sebagai sarana komunikasi, pada
dasarnya hal tersebut merupakan kegiatan interaksi dan komunikasi tidak akan
berjalan dengan baik dan benar tanpa adanya bahasa sebagai alat yang digunakan
dalam melakukan dua kegiatan tersebut. Menurut
Pada setiap pembelajaran yang berlangsung
dapat dipastikan media yang digunakan sebagai transfer ilmu yakni menggunakan
bahasa. Menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa guru dan murid seringkali
terjadi komunikasi timbal balik dengan menggunakan lebih dari 1 bahasa yang
digunakan. Kondisi semacam itu terjadi karena adanya harapan agar dapat
dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan yang disampaikan adapula karena
minimnya kosakata yang dimiliki. Pada saat proses transfer ilmu itulah terjadi
tuturan kalimat yang seringkali tanpa disengaja muncul alih dan campur kode
guna memperoleh pemahaman yang utuh. Terjadinya hal tersebut karena kebiasaan yang
sering diucapkan sehingga menjadi melekat pada ingatan setiap individu.
Hal itu terjadi pada pos paud Permata
Bunda kecamatan Mayong kabupaten Jepara. Disampaikan oleh salah seorang guru
yang menjelaskan bahwa banyak diantara anak didik mereka yang menggunakan
dwibahasa atau bahkan multi bahasa dalam percakapan kesehariannya. Namun
demikian, dipungkiri atau tidak, banyak diantara anak didik saat ini yang
memiliki kemampuan Bahasa lebih dari satu. Pemerolehan Bahasa pada anak usia
dini memang akan berperngaruh besar pasa saat ia beranjak remaja hingga dewasa,
meski adapula yang akan menambah kemampuan berbahasa maupun tetap tanpa ada
perkembangan.
Disampaikan juga bahwa siswa-siswi di
Permata Bunda tidak semua berasal dari lingkungan sama, sehingga dapat dipastikan
adanya kemampuan berbahasa dan kepemilikan kosakata yang beraneka ragam. Hal
tersebut tidak mengurangi esendi dalam berkomunikasi asalkan diantara penutur
dan lawan bicara memiliki kesatuan pemahaman. Tidak sedikit anak yang senang
menggunakan Bahasa Indonesia, Bahasa jawa hingga Inggris. Hal semacam itu
memang terkadang dapat menjadi kendala dalam menyalurkan informasi. Sehingga
peneliti tertarik untuk menganalisis model alih dan campur kode pada siswa Paud
Permata Bunda yang beranekaragam itu, serta berupaya mengambil makna yang dapat
dijadikan sebagai hasil penelitian yang mampu berkontribusi pada bidang
pendidikan khususnya dalam hal penggunaan bahasa dalam bertutur kata.
B. Kajian
Teoritis
1. Alih Kode
Sosiolinguistik
merupakan ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang ada di dalam masyarakat sosial
Sedangkan kode adalah suatu sistem tutur yang penerapan
unsur bahasanya memiliki ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi
penutur dengan mitra tutur, dan situasi tutur yang ada yang biasanya berbentuk
varian bahasa yang secara nyata dipakai untuk berkomunikasi oleh anggota suatu
masyarakat bahasa Poedjosoedarmo dalam Sumadi (2012). Kode dalam penelitian ini didefinisikan
sebagai suatu sistem tutur yang berwujud bahasa dengan berbagai variannya yang
digunakan untuk berkomunikasi. Bahasa dalam pemakaiannya tidak diamati secara
individu akan tetapi selalu dihubungkan dengan kegiatannya di dalam masyarakat
Fishman dalam Yulianti (2015), sehingga penggunaan bahasa sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor situasional seperti berbicara dengan siapa, siapa yang
berbicara, dengan apa, kapan, di mana, dan tentang apa. Selain itu, status
sosial, usia, tingkat pendidikan dan sebagainya juga dianggap sebagai
faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa.
Appel
(dalam Chaer 1976:79) mendefinisikan alih kode sebagai “gejala peralihan
pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Kridalaksana (2008:7) setuju
dengan pendapat ini dan menambahkan bahwa alih kode adalah penggunaan variasi
bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena
adanya partisipasi lain. Seperti dinyatakan oleh Hymes (1974:103) alih kode
dapat terjadi tidak hanya antarbahasa, namun juga dapat dilakukan antar
ragam-ragam atau gayagaya yang terdapat dalam suatu bahasa, atau bahkan dalam
gaya yang terdapat pada suatu bahasa.
Ohoiwutun
menyatakan (dalam Aprilia,
2009:26) alih kode
yaitu peralihan dari bahasa
nasional atau dari dialek yang satu ke dialek yang lainnya. Misalnya “anak-anak semalam sudah
pada belajar atau belum?” jawaban
anak “uwis bu” “sudah bu” kalimat di atas menyatakan peristiwa
alih kode. Kalimat
yang digunakan anak-anak
berbeda dengan kalimat sebelumnya
atau kalimat pertanyaan dari
guru yang menggunakan bahasa Indonesia
sedangkan jawaban si
anak menggunakan bahasa
Jawa Ngoko.
Pietro
menyatakan bahwa “Code switching is the use of more than one language by
communicants in the execution of a speech act” (alih kode terjadi dalam suatu
tuturan yang menggunakan lebih dari satu bahasa)”. Sementara Wardhaugh
membedakan alih kode atas dua bagian, yaitu situational code- switching
dan metaporical code-switching. Situational code-switching
terjadi bila bahasa yang digunakan berubah sesuai dengan situasi tempat para penutur
berada. Mereka berbicara dalam suatu bahasa dalam suatu situasi dan dalam
bahasa yang lain pada situasi yang lain pula. Dalam hal ini tidak terjadi
perubahan topik. Jika suatu topik menghendaki perubahan bahasa yang digunakan,
maka alih kode yang terjadi disebut metaporical code-switching”. Selanjutnya,
Soewito membedakan adanya dua macam alih kode yaitu, alih kode intern dan alih
kode ekstern. Alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa
sendiri, seperti bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya, sedangkan
alih kode ekstern adalah alih kode terjadi antara bahasa sendiri (salah satu
bahasa atau ragam yang ada dalam verbal reportoir masyarakat tuturnya) dengan
bahasa asing.
Beberapa
penyebab alih kode diantaranya;
a. Pembicara
atau penutur
Seorang
pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan
“keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya itu. Alih kode untuk memperoleh
„keuntungan” ini biasanya dilakukan oleh si penutur yang dalam peristiwa tutur
itu mengharapkan bantuan lawan tuturnya.
b. Pendengar
atau lawan tutur
Lawan
bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena
si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tutur itu. Dalam hal
lain biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena
memang mungkin bukan bahasa pertamanya.
c. Perubahan
situasi dengan hadirnya orang ketiga
Kehadiran
orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama
dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat
menyebabkan terjadinya alih kode.
d. Perubahan
dari formal ke informal atau sebaliknya
Perubahan
situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode peristiwa peralihan dari
satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur terjadi untuk
menyesuaikan diri dengan peran, atau adannya tujuan tertentu.
e. Perubahan
topik pembicaraan
Berubahnya
topik pembicaraan dapat juga menyebabkan terjadinya alih kode, perpindahan
topik yang menyebabkan terjadinya perubahan situasi dari situasi formal menjadi
situasi tidak formal merupakan penyebab ganda. Di samping perubahan situasi,
setiap bahasa dan ragam-ragamnya itu mempunyai fungsi pemakaian tertentu.
Fishman dalam Chaer dan Agustina
2. Campur
Kode
Peristiwa
campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia
memasukkan unsur-unsur bahasa daerah ataupun memasukkan unsur-unsur bahasa
asing ke dalam pembicaraan bahasa Indonesianya tersebut. Dengan kata lain,
seseorang yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang mempunyai
fungsi keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah atau bahasa asing yang
terlibat dalam kode utama tersebut merupakan serpihan- serpihan saja tanpa
fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode Aslinda dan Syafyahya (2007) dalam
Sedangkan
campur kode menurut Kachru (dalam Hermaji, 2016:77) mengemukakan bahwa campur
kode merupakan penggunaan
dua bahasa secara
bersama danmemasukan unsur bahasa
lain di dalam percakapan. Misalnya “Tadi aku mandi dewe, Bu Guru” “Tadi saya mandi
sendiri Bu Guru”. Pada kalimat tersebut terdapat campur kode di mana adanya dua
bahasa yang saling dimasukan unsur kebahasaan dari bahasa Indonesia kedalam bahasa
Jawa.
Dari
beberapa pendapat dan pandangan para ahli mengenai campur kode dapat
disimpulkan bahwa campur kode merupakan peristiwa penggunaan bahasa atau unsur
bahasa lain ke dalam suatu bahasa atau peristiwa pencampuran bahasa atau
seorang penutur yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan
serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode.
Peristiwa campur kode dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari pada saat
melakukan interaksi.
Terjadinya
campur kode biasanya disebabkan oleh tidak adanya padanan kata dalam bahasa
yang digunakan untuk menyatakan suatu maksud. Sesuai dengan kesimpulan di atas,
keterkaitan teori campur kode dengan penelitian ini mencakup campur kode bahasa
Jawa dan beberapa bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia dalam proses belajar
mengajar di Paud Permata Bunda Mayong Jepara.
Data dan Metode
Metode
yang digunakan dalam penelitian adalah metode simak. Pada penelitian ini, data
dikumpulkan dalam bentuk pengambilan data primer. Agar peneliti dapat melakukan analisis data,
terlebih dahulu dipersiapkan instrumen dan juga tahap pengumpulan data.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah manusia tepatnya peneliti sendiri sebagai pelaku seluruh penelitian dan
juga alat-alat perekam serta catatan lapangan.
Studi ini
melibatkan kerja lapangan yang sebenarnya. Menurut
Karena
penelitian ini akan mendeskripsikan alih kode dan campur kode dalam tuturan
anak sekolah, khususnya
anak PAUD, yang
tuturannya masih dalam
proses pengembangan, maka
dipilihlah pendekatan penelitian deskriptif kualitatif.Istilah "desain
penelitian" mengacu pada cetak biru yang berfungsi sebagai panduan
saat mengumpulkan data untuk penelitian.
Dengan menggunakan pendekatan
penelitian deskriptif
kualitatif, penelitian ini
membahas dan memberikan
penjelasan tentang terjadinya alih kode
dan campur kode
dalam interaksi pembelajaran
di PAUD Permata Bunda Desa Mayonglor
Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara. Penelitian ini menggunakan pendekatan mahir
dan metode observasi. Metode seperti menonton dan mendengarkan dianggap sebagai
bentuk observasi. Tim peneliti menggunakan free-involved listening
technique, serta prosedur pencatatan
dan pencocokan
Dalam pekerjaan
ini, kami menggunakan
model Miles dan
Huberman untuk analisis data, yang memerlukan prosedur
berikut:
1. Reduksi
Data Reduksi informasi dilakukan dengan
meringkas. Mengurangi jumlah
data yang dikumpulkan dapat
membantu peneliti menyajikan
gambaran yang lebih
jelas dan merampingkan pekerjaan
mereka.
2. Penyajian
Data Tahap selanjutnya setelah
reduksi data ialah penyajian data.
Penyajian data bertujuan untuk
“memberikan gambaran tentang
data dengan cara
menyusun dan mengelompokkan data
sehingga diperoleh bentuk nyata dari sumber data”
3. Verifikasi
Setelah reduksi data dan display data, proses selanjutnya ialah:
a) Mengurutkan
informasi yang telah dikategorikan menurut isinya,
b) Melaksanakan pengkodean, yang memerlukan pemberian kode
khusus ke data untuk memberi label dengan konteks,
c) Alih kode
dan campur kode dianalisis dari segi sebab-sebabnya, akibat-akibatnya, serta
berbagai bentuk dan tujuannya.
d) Menerangkan
secara singkat apa yang dipelajari melalui penelitian.
Penulisan data dilakukan dengan cara memisahkan antara
alih kode dan campur kode dengan beberapa pembagian seperti Pra KBM dan saat
KBM. Berikut data alih kode dan campur kode yang ditemukan pada penelitian di
PAUD Permata Bunda;
1. Data 1 Pada kegiatan senam
Guru: “Sana turun dulu karo kanca-kancane,
senam”
2. Data 2 pada Kegiatan Salaman
Guru: “Ayo baris cah…”
Siswa: “Iya bu…”
Guru: “Ayo kene, mene-mene copot dulu baru taruh
sana..”
Siswa: “Iya bu..”
Guru: “Milih sik milih sik,
milih dulu..”
Siswa: “Bar iki lapo bu?”
Guru: “Langsung masuk langsung duduk.”
Guru awalnya
mengajak bersalaman secara berurutan dengan berbaris terlebih dahulu,
disiapkan, dan dibariskan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian terdengar
seorang guru berkata menggunakan bahasa Jawa untuk mempertegas intruksinya.
Alih kode dan campur kode yang terjadi tidak dapat dihindari karena anak-anak
usia dini secara alami belum mampu diajak menyesuaiakan bahasa baku yang
seharusnya digunakan pada saat pembelajaran. Pada percakapan tersebut terdapat
banyak alih kode, namun ada juga campur kode pada kalimat “Ayo kene,
mene-mene copot dulu baru taruh sana..” pada dasarnya guru sudah mulai
memancing agar anak menjawab dengan menggunakan bahasa Indonesia, namun yang
terjadi sebaliknya, anak tetap kembali menjawab dengan bahasa Jawa.
3. Data 3 awal pembelajaran
Guru: “Ayo anak-anak duduk yang rapi”
Ketika terlihat ada anak yang duduk ditengah
pintu, tiba-tiba ibu guru berkata;
Guru: “Ojo ning lawang. Mulai pintu iki
gak oleh !”
Sebuah kalimat larangan yang diucapkan dengan
menggunakan bahasa Jawa dan berupa alih kode dari mulanya bahasa Indonesia lalu
seketika berubah ke bahasa Jawa.
4. Data 4 datangnya orang ketiga
Guru kedatangan guru
lain bertanya menggunakan bahasa jawa, terkait berapa jumlah murid yang
berangkat, kemudian secara langsung guru yang sedang mengajar tersebut menjawab
mengunakan bahasa Jawa pula.
Guru Lain : “Muride sing mangkat pira?”
Guru yang mengajar: “Siji, loro, telu, papat, lima, nem,
pitu, wolu, sanga, sepuluh, dan seterusnya.”
Siswa menirukan: “Siji,
loro, telu, papat, lima, nem, pitu, wolu, sanga, sepuluh, sebelas, dua belas,
tiga belas,”
Kedatangan orang
ketiga menjadi salah satu penyebab adanya peralihan dan pencampuran kode. Agar
tidak dianggap terlalu resmi, maka yang menjadi lawan bicara juga menjawab
dengan menggunakan bahasa jawa.
5. Data 5 kegiatan di dalam kelas dan sebelum berdo’a
Guru: “Ayo duduk sing apik yuk..”
Kalimat ajakan yang dicampuri dengan bahasa
jawa oleh guru dengan tujuan menertibkan siswanya.
Murid: “Bu ada semut”
Guru: “Yowis rapopo semut rapopo, engko
semute mlayu”.
Ketika murid lapor ada semut dengan
menggunakan bahasa Indonesia, guru menjawab dengan bahasa Jawa, hal ini
terjadilah alih kode secara penuh pada satu kalimat.
Guru: “Semuanya ayo duduk, duduk sing apik”
Guru: “Mas adit mau pipis”
Siswa: “Aku juga mau pipis bu”
Campur kode yang masih berlanjut pada saat
guru menertibkan siswanya ntuk bisa duduk agar segera mulai berdo’a. Namun
tiba-tiba ada seorang siswa yang berkata ingin buang air kecil namun kata yang
dipilih “pipis” sebuah campur kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa.
6. Data 6 kegiatan menyapa teman
Kegiatan menyapa teman ini dilakukan secara
berututan dan bergantian, tiba-tiba pada saat giliran salah seorang siswa
terlihat dia tidak siap melanjutkan kegiatan menyapa, sehingga guru menegurnya
dengan menggunakan alih kode.
Guru: “Lhoo ogak fokus ra?”
Guru: “Arsyad kono aja ganggu kancane”.
Selanjutnya guru melakukan pemberian salam
dengan menggunakan beberapa bahasa;
Guru: “Good morning”
Siswa: “Morning”
Guru: “How are you?”
Siswa: “I am fine”
Guru: “Sugeng enjing”
Siswa: “Enjing”
Guru: “Pripun kabare”
Siswa: “Sae”
Guru: “Siapa teman kita yang tidak berangkat
ya?”
Siswa: “Piye bu?”
Guru: “Yang gak berangkat iku sing gak
sekolah”
Pada proses penyampaian salam itu terjadi alih
kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris dan bahasa Jawa. Disesuaikan dengan
tujuan untuk mengenalkan bahasa asing kepada anak usia dini.
7. Data 7 kegiatan Cuci tangan
Siswa: “Waduh panase”
siswa: “Wis adeeem”
Guru: “Maeme kudu habis tah”
Siswa: “Tolong benerke bu”
Guru: “Opone? Wis angger dibawa masuk sik,
dibawa ati-ati”
Siswa: “Bu Gigiku sakit”
Guru: “Diambil sing gampang wae”
Guru: “Aja ning pinggir nek gledak”.
Data ke 7 ini menunjukkan adanya alih dan
campur kode yang cukup banyak dikarenakan kondisi siswa yang terlihat mulai
kerepotan dengan beberapa hal yang harus mereka lakukan.
8. Data 8 Saat membantu guru menyapu
Siswa: “Tiap hari aku bantuin ibu ambil ekrak”
Guru: “Hebat”
Siswa: “Aku bantuin masak”
Guru: “Masak opo?”
Siswa: “Masak iwak”
Pada percakapn ini awal mulanya guru secara
engkap menggunakan bahasa Indonesia, namun siswa memiliki kebingungan dalam
menggunakan kata dalam bahasa Indonesia, telihat pada kata “iwak” yang
seharusnya disebutkan “ikan” sesuai kaidah bahasa Indonesia, namun anak masih
tidak mampu mengucapkannya dengan baik.
9. Data 9 Saat akan dimulai KBM dan masih ada yang makan
Guru: “Ayo mbak Kiana waktu maem wis habis”
Guru: “Gak usah royokan gak usah”.
Terdapat seorang siswa yang masih belum
mengikuti kegiatan belajar sehingga guru menegur dengan menggunakan campur kode
bahasa Jawa dan sempat pula menegur dengan alih kode kedaam bahasa Jawa.
10. Data 10 Pembelajaran Kelas B, Guru Bu RD
Materi binatang darat dan makanannya
Siswa: “Lompat itu ngene”.
Siswa lain: “Iku jengene kodok”
Guru: “Kelinci punya apa ini?”
Siswa: “Brengos”
Guru: “Brengos itu apa? Kumis”
Kesulitan menyebutkan beberapa anggota tubuh
hewan kelinci dialami siswa, sehingga mereka menyebutkan dengan menggunakan
bahasa Jawa, namun secara sigap guru membantu menjelaskan dan mengenalkan
kedalam bahasa Indonesia.
11. Data 11 Pembelajaran Kelas A, Guru Bu LH dan Bu DK
Materi Binatang darat (kelinci) dan makanannya
Guru: “Mas Vano didengarkan, gak krungu
lho”
Guru: “Kelincinya dijapit gini nanti jadi ada
3”
Guru: “Selanjutnya ayo jejer-jejer yuk”.
Guru: “Ada 2 permainan; boleh mewarnai dan
menjapit. Yang mewarnai ambil crayon yang menjapit ambil ini”.
Percakapan yang berisi perintah kepada siswa
untuk melaksanakan tugas, namun guru melakukan campur kode pada beberapa kata seperti
“japit” yang seharusnya “capit” hal ini ditujukan agar siswa lebih memahami
intruksi yang ingin disampaikan guru.
II.
SIMPULAN
Peristiwa alih kode dan campur kode dapat
terjadi dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Dilihat dari sudut arah, alih
kode dapat berupa bahasa Indonesia ke bahasa jawa atau sebaliknya, alih kode dari
bahasa Indonesia ke bahasa jawa, alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa
Inggris. Campur
kode dari sudut bentuk dapat berupa klausa atau kalimat, frasa atau kata,
campur kode bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia, campur kode bahasa Indonesia dalam bahasa jawa, campur kode bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Gejala alih kode dari segi bentuk dapat
terjadi alih bahasa atau ke alih ragam, bisa juga terjadi dari alih ragam ke
alih bahasa.
Temuan pada
penelitian yang dilakukan di PAUD Permata Bunda ini menunjukkan adanya
perbedaan jumlah antara alih kode dan campur kode yang tidak seimbang. Berdasar
pada data yang ada jumlah alih kode lebih dominan dibandingkan dengan jumlah
terjadinya campur kode. Sedangkan temuan lain terkait penggunaan bahasa
Indonesia yaitu pada kelas B penggunaan bahasa Indonesia secara intensitas jauh
lebih baik dibandingkan dengan kelas A yang memang masih sangat sulit untuk
dikondisikan dan lebih banyak memahami bahasa jawa. Selain itu, temuan pada
guru yang cenderung meggunakan alih bahasa dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa
adalah guru dengan inisial DK dan IH, sedangkan 2 orang guru lainnya yaitu LH
dan RD sudah menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan lancar dengan catatan
anak-anak mampu menjawab apa yang menjadi pertanyaan ataupun memberikan umpan
balik pada guru pada saat dilakukan komunikasi.
Adapun kontribusi
atau tujuan adanya penelitian ini yakni untuk mendeskripsikan, menganalisis dan
menilai penggunaan alih dan campur kode pada pembelajara anak usia dini. Alih
kode dan campur kode pada anak usia dini sangat tidak bisa dihindari karena
beberapa hal salah satunya yaitu untuk memberi pemahaman terhadap anak
didiknya. Meski demikian, seringnya penggunaan alih dan campur kode pada saat
kegiatan belajar mengajar, akan mengurangi entitas dari bahasa Indonesia itu
sendiir sebagai bahasa formal.
Sehingga, dapat
diberikan saran terhadap guru PAUD Permata Bunda khususnya dan umum kepada
setiap pendidik pada anak-anak usia dini untuk dapat memilih kosakata yang
menarik dan paling mudah, agar anak-anak mampu memahami dan mengingat sehingga
dikemudian hari dapat meniru dalam penggunaan percakapan lainnya. Selain itu
juga dapat diajak bermain tebak kata dengan model peralihan kata dari bahasa
jawa ke bahasa Indonesia, bahasa Inggris ke Indonesia dan sebaliknya.
Daftar Pustaka
Chaer, A. d. ( 2010). Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Kesuma, T. M. (2007). Pengantar
(Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks.
Kridalaksana, H.
(2008). Kamus Linguistik (edisi keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Nababan. (1984). Sosiolinguistik
Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Nugroho, A. (2011). Alih
Kode dan Campur Kode Pada Komunikasi Guru-Siswa di SMA Negeri 1 Wonosari
Klaten. Yogyakarta: Universitas Negeri YOGYAKARTA.
Sukardi. (2003). Metodologi
Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Prakteknya. Jakarta: Bumi Aksara.
Riadi,
Bambang. 2017. “Variasi Kode
Pada Tuturan Masyarakat
Jawa di Gedongtataan”.Asara
Jurnal Bahasa dan Sastra. Online: http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/aksara/article/view/13588
Mustikawati, D. A. (2016). “Alih kode dan campur
kode antara penjual dan pembeli (Analisis pembelajaran berbahasa
melalui studi sosiolinguistik).” Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran, 2(2), 23-32
https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39902/1/Alih.pdf
https://journal.upy.ac.id/index.php/skripta/article/view/900/711
https://jptam.org/index.php/jptam/article/view/8041/6588
https://media.neliti.com/media/publications/155919-ID-alih-kode-dan-campur-kode-dalam-pembelaj.pdf
https://jurnal.uns.ac.id/Basastra/article/viewFile/37780/pdf
0 Response to "ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI PAUD PERMATA BUNDA KECAMATAN MAYONG KABUPATEN JEPARA"