oleh: Naela Rohmah
A. Positivisme
A. Positivisme
Positivisme
lahir pada abad ke-19, dipelopori oleh pemikiran Henry de Saint Simon yang
kemudian dikembangkan oleh Aguste Comte.[1]
Titik tolak pemikirannya, apa yang diketahui adalah yang fakctual dan yang
positif (bisa ditangkap oleh panca indera) [2].
Ajaran positivisme:
- Empirisitas dan kausalitas itu mutlak
Dapat diketahui bahwasanya positif itu sendiri merujuk pada hal-hal riil dimana kenyataan (bahasa sebelumnya: faktual) lah yang menjadi poin utama. Sehingga mitos dan kepercayaan-kepercayaan kosong tidak berlaku di dalamnya. Semua hal harus dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan (sains).[3] Karena harus dibuktikan, muncullah sarat baru, yaitu kausalitas, seperti yang dikemukakan oleh de Saint Simon bahwa untuk memahami sejarah (yang notabennya tidak dialami secara langsung), orang harus mencari hubungan sebab akibat dan hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.
-- Tolak teologi
Pandangan ini berawal dari teori Auguste Comte, melalui karyanya The Course of Positive Philosophy (1830-1842), yang memberikan gambaran tentang “perkembangan” cara berpikir yang ada pada setiap manusia. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika (kaitan organis antara gejala-gejala) dan dinamika (urutan gejala-gejala). Kemudian, Comte membagi tahap perkembangan menjadi tiga, tahap teologis, metafisis, dan ilmiah/positif. Tahap-tahap tersebut berlaku pada setiap individu. Dalam perkembangannya, penjelasan tentang ketiganya merujuk pada satu kesimpulan “tanpa teologi” atas dasar filsafat positifnya. Agama baru tanpa teologi ini mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “Cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan”.[4
- Sosialis (mementingkan kepentingan orang lain/bersama)
Pemikiran Comte, sebagai bapak positivisme, yang lain adalah istilah ciptaannya yang terkenal altruism, yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain.[5] Dari sini, terlihat bahwa kaum positivisme memiliki pandangan antropologi, khususnya berkenaan dengan penghormatan hak sesama manusia yang lebih. Sehingga meski tidak bertuhan, rasa kebersamaan mereka tinggi.
Lebih lanjut, penganut paham positivisme dapat memberikan statemen bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam. Keduanya dianggap (hampir) sama. Mereka memangdang bahwa masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.[6] Dan dari sini, pemahaman awal positivisme yang mengagungkan ilmu pengetahuan (alam) juga menyentuh area sosial (kebersamaan).
- Empirisitas dan kausalitas itu mutlak
Dapat diketahui bahwasanya positif itu sendiri merujuk pada hal-hal riil dimana kenyataan (bahasa sebelumnya: faktual) lah yang menjadi poin utama. Sehingga mitos dan kepercayaan-kepercayaan kosong tidak berlaku di dalamnya. Semua hal harus dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan (sains).[3] Karena harus dibuktikan, muncullah sarat baru, yaitu kausalitas, seperti yang dikemukakan oleh de Saint Simon bahwa untuk memahami sejarah (yang notabennya tidak dialami secara langsung), orang harus mencari hubungan sebab akibat dan hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.
-- Tolak teologi
Pandangan ini berawal dari teori Auguste Comte, melalui karyanya The Course of Positive Philosophy (1830-1842), yang memberikan gambaran tentang “perkembangan” cara berpikir yang ada pada setiap manusia. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika (kaitan organis antara gejala-gejala) dan dinamika (urutan gejala-gejala). Kemudian, Comte membagi tahap perkembangan menjadi tiga, tahap teologis, metafisis, dan ilmiah/positif. Tahap-tahap tersebut berlaku pada setiap individu. Dalam perkembangannya, penjelasan tentang ketiganya merujuk pada satu kesimpulan “tanpa teologi” atas dasar filsafat positifnya. Agama baru tanpa teologi ini mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “Cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan”.[4
- Sosialis (mementingkan kepentingan orang lain/bersama)
Pemikiran Comte, sebagai bapak positivisme, yang lain adalah istilah ciptaannya yang terkenal altruism, yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain.[5] Dari sini, terlihat bahwa kaum positivisme memiliki pandangan antropologi, khususnya berkenaan dengan penghormatan hak sesama manusia yang lebih. Sehingga meski tidak bertuhan, rasa kebersamaan mereka tinggi.
Lebih lanjut, penganut paham positivisme dapat memberikan statemen bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam. Keduanya dianggap (hampir) sama. Mereka memangdang bahwa masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.[6] Dan dari sini, pemahaman awal positivisme yang mengagungkan ilmu pengetahuan (alam) juga menyentuh area sosial (kebersamaan).
B.
Marxisme
Marxisme/Komunisme lahir dari konteks masyarakat industri Eropa
abad ke-19, dengan semua ketidakadilan, eksploitasi manusia khususnya kelas bawah (buruh).[7]
Kemunculannya adalah sebagai reaksi atas sistem
kapitalisme yang pada saat itu banyak merugikan kaum proletariat (buruh).
Seperti
namanya, aliran filsafat ini dipelopori oleh Karl Marx. Menurut analisa Marx, kaum buruh banyak dirugikan dengan sistem yang ada,
dimana keuntungan “terbesar” adalah untuk kaum “atas” (pemilik modal) dan
bahkan terjadi penindasan terhadap kaum buruh. Atas fenomena itulah, Marx
mencoba memperjuangkan kaum buruh.
Ajaran Marxisme:
- Keadilan/Sama rata (tanpa kelas)
Berangkat dari kasus penindasan terhadap kaum buruh, Friedrich Engels dan Karl Marx pada Tahun 1847 mendeklarasikan suatu "manifesto Komunis" di mana sistem kapitalisme dilawan tanpa kompromis. Kaum tertindas, terutama kaum buruh harus diperdayakan, dan mereka yang harus menjadi subjek sejarah secara revolutioner untuk mengubah sistem masyarakat menjadi suatu masyarakat yang adil, tanpa kelas (classless society), ya bahkan tanpa negara (stateless society): sosialisme/ komunisme. Kekayaan dan sarana-sarana produksi harus dimiliki bukan oleh suatu minoritas / kelas atas secara pribadi, tetapi oleh bangsa secara kolektif. Setiap individu disini memperoleh bagiannya tidak lagi berdasarkan status sosialnya, kapitalnya atau jasanya, tetapi berdasarkan kebutuhannya.[8]
- Atheisme (tak bertuhan)
Kata “a” berarti tidak/tanpa, dan “theo” berarti tuhan. Sedangkan sufiks “is” dapat dimaknai sebagai subyek (dalam hal ini: penganut). Kemudian seperti yang sering diketahui imbuhan “isme” memberikan makna paham atau ideologi dan pandangan hidup. Atheisme adalah falsafah hidup atau "weltanschauung" marxisme. Jika dilihat dari konteks kelahirannya, atheisme lebih mirip sebagai reaksi terhadap gereja Kristen Protestan yang gagal merespon tantangan-tantangan sosial yang muncul pada abad ke-19 di Eropa. Marx menyebut agama sebagai "opium untuk bangsa", karena ia pernah menemui kasus dimana suatu agama seperti gerakan Pietisme Kristen Protestan yang mengutamakan "keselamatan jiwa" seseorang dan tidak peduli terhadap kondisi sosial dan politik. Ia menganggap "Allah diperalat untuk melegitimasi struktur-struktur kuasa dan sistem politik-kapitalis.
Namun, Ateisme komunis bukan hanya hasil konteks sosial-politis abad ke-19, tetapi berkembang menjadi suatu ideologi anti-agama. Dalam dialog antara komunisme dan agama yang dilaksanakan dalam pelbagi bentuk khususnya pada tahun enampuluhan abad ke-20, beberapa orang komunis memang mengakui bahwa agama bisa juga merupakan suatu faktor pembebasan dan keadilan sosial, tetapi pendirian ateis tidak pernah dipertanyakan. Untuk Marxisme, agama adalah proyeksi manusia (Feuerbach)[9] dan hanya mencerminkan struktur-struktur kuasa masyarakat. Manusia harus membebaskan diri dari semua ketergantungan dan otoritas, baik manusiawi maupun ilahi.
-- Antropologi (pandangan terhadap manusia)
Disini nampak antropologi (gambar tentang manusia) dari marxisme yang sangat optimis. Manusia adalah bagian dari alam, yang melalui kerja manusia alam dapat dikuasai, diubah dan dijadikan milik manusia. Manusia melalui kerjanya menguasai materi (materialisme). Ini bukan proses individual, tetapi proses kolektif yang melayani pemenuhan kebutuhan masyarakat. Proses ini terjadi bukan secara evolusioner, melainkan melalui munculnya pertentangan-pertentangan di masyarakat yang dipecahkan secara revolusioner untuk mencapai tingkat baru sejarah (materialisme dialektis). Hakikat manusia dipenuhi melalui proses me-masyarakat-kan, di mana semua pemisahan antara manusia (kelas, negara, bahkan agama.) ditiadakan. Karena manusia sendiri adalah subjek perubahan yang hakiki (yang berkembang secara revolutioner), akhirnya manusia adalah “pencipta dan penebus dirinya sendiri”.
C. Bibliography
- Keadilan/Sama rata (tanpa kelas)
Berangkat dari kasus penindasan terhadap kaum buruh, Friedrich Engels dan Karl Marx pada Tahun 1847 mendeklarasikan suatu "manifesto Komunis" di mana sistem kapitalisme dilawan tanpa kompromis. Kaum tertindas, terutama kaum buruh harus diperdayakan, dan mereka yang harus menjadi subjek sejarah secara revolutioner untuk mengubah sistem masyarakat menjadi suatu masyarakat yang adil, tanpa kelas (classless society), ya bahkan tanpa negara (stateless society): sosialisme/ komunisme. Kekayaan dan sarana-sarana produksi harus dimiliki bukan oleh suatu minoritas / kelas atas secara pribadi, tetapi oleh bangsa secara kolektif. Setiap individu disini memperoleh bagiannya tidak lagi berdasarkan status sosialnya, kapitalnya atau jasanya, tetapi berdasarkan kebutuhannya.[8]
- Atheisme (tak bertuhan)
Kata “a” berarti tidak/tanpa, dan “theo” berarti tuhan. Sedangkan sufiks “is” dapat dimaknai sebagai subyek (dalam hal ini: penganut). Kemudian seperti yang sering diketahui imbuhan “isme” memberikan makna paham atau ideologi dan pandangan hidup. Atheisme adalah falsafah hidup atau "weltanschauung" marxisme. Jika dilihat dari konteks kelahirannya, atheisme lebih mirip sebagai reaksi terhadap gereja Kristen Protestan yang gagal merespon tantangan-tantangan sosial yang muncul pada abad ke-19 di Eropa. Marx menyebut agama sebagai "opium untuk bangsa", karena ia pernah menemui kasus dimana suatu agama seperti gerakan Pietisme Kristen Protestan yang mengutamakan "keselamatan jiwa" seseorang dan tidak peduli terhadap kondisi sosial dan politik. Ia menganggap "Allah diperalat untuk melegitimasi struktur-struktur kuasa dan sistem politik-kapitalis.
Namun, Ateisme komunis bukan hanya hasil konteks sosial-politis abad ke-19, tetapi berkembang menjadi suatu ideologi anti-agama. Dalam dialog antara komunisme dan agama yang dilaksanakan dalam pelbagi bentuk khususnya pada tahun enampuluhan abad ke-20, beberapa orang komunis memang mengakui bahwa agama bisa juga merupakan suatu faktor pembebasan dan keadilan sosial, tetapi pendirian ateis tidak pernah dipertanyakan. Untuk Marxisme, agama adalah proyeksi manusia (Feuerbach)[9] dan hanya mencerminkan struktur-struktur kuasa masyarakat. Manusia harus membebaskan diri dari semua ketergantungan dan otoritas, baik manusiawi maupun ilahi.
-- Antropologi (pandangan terhadap manusia)
Disini nampak antropologi (gambar tentang manusia) dari marxisme yang sangat optimis. Manusia adalah bagian dari alam, yang melalui kerja manusia alam dapat dikuasai, diubah dan dijadikan milik manusia. Manusia melalui kerjanya menguasai materi (materialisme). Ini bukan proses individual, tetapi proses kolektif yang melayani pemenuhan kebutuhan masyarakat. Proses ini terjadi bukan secara evolusioner, melainkan melalui munculnya pertentangan-pertentangan di masyarakat yang dipecahkan secara revolusioner untuk mencapai tingkat baru sejarah (materialisme dialektis). Hakikat manusia dipenuhi melalui proses me-masyarakat-kan, di mana semua pemisahan antara manusia (kelas, negara, bahkan agama.) ditiadakan. Karena manusia sendiri adalah subjek perubahan yang hakiki (yang berkembang secara revolutioner), akhirnya manusia adalah “pencipta dan penebus dirinya sendiri”.
C. Bibliography
Muzairi, Filsafat
Umum, Teras, Yogyakarta, 2009.
Id.wikipedia.org/wiki/positivisme
0 Response to "Pengertian, Konsep, dan Ajaran Positivisme dan Marxisme"