be a Human Being

Find, do, and show your life

Banner 468 x 60

Loading...

Memberi untuk Tenangkan Hati



Oleh: Ahmad Muzaqqi[1] (114211062)
Sumbergambar: aryodiponegoro


Pendahuluan
Banyak hal yang bisa dijadikan ladang pahala. Nabi SAW. pernah menjelaskan tentang su’batul iman (cabang-cabang iman), yang terkecil adalah menyingkirkan batu dari jalan. Ada juga sebuah hadis tentang seorang istreri yang akan mendapatkan pahala berlipat hanya dengan mencium tangan suaminya sebagai bentuk pnghormatan. Kisah Ali yang terdengar langkah kakinya di surga hanya karena shalat dua rakaat setiap habis wudlu juga pernah dijelaskan oleh Nabi. Setidaknya dari beberapa hal tersebut, terlihat betapa banyak amalan yang dapat mendatangkan ridha dan pahala dari Allah SWT.
Lawan dari pahala adalah dosa. Tidak seorang pun tahu bentuk dari keduanya, namun layaknya pahala, dosa juga sangat mudah didapatkan oleh seorang hamba. Masih teringat kisah dua orang saudara yang berbeda kelakuan selama di dunia, misalnya A dan B. Si A adalah seorang hamba yang patuh pada ajaran agama dan si B tidak patuh. Pada salah satu riwayat, keduanya diijinkan untuk mengintip masa depannya di akhirat perihal surga dan neraka. Tentu si A adalah calon penghuni surga dan si B mendapatkan neraka. Namun, hanya karena kesombongan si A yang terlalu percaya diri dan si B yang merasa pasrah (bersrah diri, tawakal), maka kenyataan pun berbalik. Pada akhirnya, si A mendapatkan neraka dan si B mendapatkan surga. Kisah itu setidaknya memberikan ajaran bahwa surga-neraka dan pahala-dosa bukanlah sesuatu yang bisa diprediksi dan hitung secara mudah. Harus ada ketulusan dan kerelaan dalam beramal dan beribadah.
Konsep ini, menurut penulis, sangat berkaitan dengan infaq, sedekah, zakat, dan yang lainnya. Hal-hal yang bersifat “memberi” memang harus dibarengi dengan kerelaan. Hal inilah yang menjadi titik permasalahan sekaligus titik pembahasan dalam tulisan ini.

Pembahasan
Infaq, sedekah, dan zakat sepertinya telah menjadi trending topik di era baru, tahun 2014 ini. Waktu-waktu mendekati pemilu memang kerap jadi ajang gengsi para calon (Presiden ataupun anggota dewan). Tentu tak dapat dipungkiri lagi, di berbagai stasiun televisi swasta, berbagai tokoh “calon” tersebut membuat acara “sedekah masal” berhadiah berkisar antara 1-2 juta untuk tiap pemenang. Ada yang dilakukan setiap hari, tiap minggu, bahkan sehari dua kali. Setelah semua fakta itu, penulis mulai berasusmsi bahwa calon-calon pejabat di negeri ini dermawan dan suka berbagi.
Terlepas sejenak dari fakta di atas, apakah benar dengan bagi-bagi uang seperti itu sudah bisa dikatakan orang yang dermawan. Orang dermawan di sini adalah orang yang mendermakan hartanya di jalan Allah SWT. Maka dari itu, panulis ingin mengkaji hal menarik ini (tentang memberi) dari kaca mata al-Quran dan al-Hadits.
Pengertian Memberi
Dalam bahasa arab, “memberi” berasal dari beberapa kata, yaitu nafaqa-yunfiqu, ata-yu’ti, a’tha-yu’thi. Kata-kata tersebut disebutkan dalam berbagai redaksi nash. {...aqimu al-shalata wa atu al-zakata...} sering disebutkan dalam al-Quran, atu berarti menunaikan atau membayarkan. Sedangkan {matsalu alladzina yunfiquna amwalahum...}, yunfiqu berarti membelanjakan atau menggunakan. {inna a’thoinaka al-kautsar}, a’tha berarti memberikan.
Sedangkan dalam bahasa inggris, kata memberi sering diartikan “give”. Hanya satu kata itu. Artinya, memberikan sepenuhnya dan selamanya. Berdasarkan Kamus Cambrigde advanced, ada 7 pemaknaan kata give, yaitu menawarkan, membayar (sebuah tagihan), menceritakan/ memeritahu, memberi hukuman, mengalkulasi, mngizinkan, dan memberikan sepenuhnya.[2]
Maka, memberi adalah proses perpindahan sesuatu dari tempat dan pemilik awal (pemberi) kepada pmilik akhir (penerima). Jika dikaitkan dengan kepemilikan Allah, maka pemberian di sini lebih bermakna menganugerahkan dan juga menitipkan. Namun, pembahasan kita pada tulisan ini adalah cenderung pada memberi antar manusia, seperti infaq, sedekah, dan zakat.
Yang Dikategorikan “Memberi”
Bertolak dari pengertian dan pemahaman tentang memberi, maka ia sangat berbeda dengan bay’ (jual beli) ataupun dayn (hutang). Maka, hal-hal yang bisa dikategorikan dalam memberi yaitu:
Pertama, infaq
Al-Baqarah menjadi surat yang paling banyak membahas tiga hal yang sedang dijelaskan. Seperti pada ayat ke-195, Orang-orang mukmin diperintahkan membelanjakan harta kekayaannya untuk berjihad fisabilillah dan dilarang menjatuhkan dirinya ke dalam jurang kebinasaan karena kebakhilannya. Jika suatu kaum menghadapi peperangan sedangkan mereka kikir, tidak mau membiayai peperangan itu, maka perbuatannya itu berarti membinasakan diri mereka saja.[3]
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa kata infaq sebenarnya berarti membelanjakan secara umum, dalam hal apapun. Hal ini juga berkaitan dengan nafaqah (nafkah) dalam keluarga yang sejatinya mencakup pembiayaan apa saja, seperti al-Baqarah ayat 270. Dalam ayat ini Allah swt. menyebutkan infak pada umumnya, baik infak yang diridai-Nya, maupun yang tidak. Demikian pula mengenai nazar. Lalu ditegaskan bahwa Dia mengetahui semua infak dan nazar yang dilakukan manusia, sehingga Dia akan memberikan pahala jika infak dan nazar itu baik, sebaliknya Dia akan memberikan siksa, apabila infak dan nazar itu tidak baik.[4]
Namun demikian, pemaknaan kata infaq di Indonesia telah mengalami penyempitan, sekarang “infak” (versi KBBI, bukan infaq) dimaknai sebagai pemberian (sumbangan) harta dsb (selain zakat wajib) untuk kebaikan, sedekah, dan nafkah. Sedangkan “menginfakkan” berarti menyumbangkan harta untuk kepentingan umum.[5]
Kedua, sadaqah
Makna kata shadaqa adalah benar. Cakupan maknanya lebih luas ketimbang infaq. Shadaqah adalah pemberian untuk orang/pihak lain. Jik aInfaq hanya ditunjukkan pada hal-hal yang bersifat material seperti uang atau benda-benda lain yang berharga dan bermanfaat, sedangkan sadaqah bisa bersifat materi maupun bukan materi. Dalam kaitannya dengan syariat, maka shadaqah adalah amalan sosial bersifat sunnah, begitu juga infaq.
Dalam hadist riwayat Muslim, Rasulullah SAW memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak bershadaqah dengan hartanya, beliau bersabda:  “Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir shadaqah, setiap tahmid shadaqah, setiap tahlil shadaqah, amar ma’ruf shadaqah, nahi munkar shadaqah dan menyalurkan syahwatnya pada istri juga shadaqah”. Maka shadaqah adalah ungkapan kejujuran (shidiq) iman seseorang. Oleh karena itu, Allah SWT menggabungkan antara orang yang memberi harta dijalan Allah dengan orang yang membenarkan adanya pahala yang terbaik.[6]
Salah satu ayat al-Quran yang mengisahkan tentang bagaimana konsep shadaqah adalah al-Baqarah ayat 75, (Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah, dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh."). Orang yang dimaksud ialah Tsa'labah bin Hathib, pada suatu hari ia meminta kepada Nabi saw. supaya mendoakannya, semoga Allah memberinya rezeki harta, kelak ia akan menunaikan hak-haknya kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Kemudian Nabi saw. mendoakannya sesuai dengan permintaannya itu; akhirnya Allah memberinya harta yang banyak, sehingga ia lupa akan salat Jumat dan salat berjemaah yang biasa dilakukannya karena sibuk dengan hartanya yang banyak itu, dan lebih parah lagi ia tidak menunaikan zakatnya sebagaimana yang dijelaskan pada ayat berikutnya.[7]
Literatur ayat ini memberikan penjelasan tentang sasaran shadaqah, yaitu mustahiq, orang-orang yang berhak. Sedangkan penjelasan tentang mustahiq juga disebutkan pada ayat lain, al-Taubah ayat 60, yaitu para fakir, miskin, pengurus-pengurus zakat, mu'allaf (yang masih lemah hatinya), untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, sabilillah dan untuk mereka para musafir.[8]
Literatur bahasa Indonesia menyebutnya “sedekah”, maknanya adalah pemberian sesuatu kepada fakir miskin atau yg berhak menerimanya, di luar kewajiban zakat dan zakat fitrah sesuai dengan kemampuan pemberi.[9] Sedekah di sini juga mengalami penyempitan makna, yang lebih bermakna khusus untuk kaum kurang mampu.
Ketiga, zakat
Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya. menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak. Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam.
Menurut Bahasa, zakat berarti : tumbuh, berkembang, kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10) Menurut Hukum Islam (istilah syara’), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy).[10]
Pada perkembangannya, zakat menjadi salah satu pilar agama, terutama dalam kaitannya dengan dunia sosial. Jika shalat identik dengan ibadah kepada Allah (hablun mina Allah), maka zakat lebih kepada manusia (hablun mina al-nas).
Zakat adalah ibadah yang nantinya dapat membersihkan jiwa sesorang, al-Taubah 103, (Ambilah zakat dari sebagiaan harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkaan dan mensucikan mereka, dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui)[11].
Cara Memberi yang Benar
Telaah tentang “cara memberi” ini sangat erat kaitannya dengan kajian tafsir ayat-ayat tentang memberi (infaq, shadaqah, dan zakat). Setidaknya ada beberapa poin utama dalam aturan dan cara yang baik dalam memberi berdasarkan ayat,
1.      Tulus, tidak mengungkit pemberian (al-Baqarah: 262)
Al-Baqarah ayat 262, (Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.)
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa pahala dan keberuntungan yang akan didapat oleh orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, ada syaratnya, yaitu bahwa ia memberikan hartanya itu benar-benar dengan ikhlas, dan setelah itu ia tidak suka menyebut-nyebut infaknya itu dengan kata-kata yang dapat melukai perasaan orang yang menerimanya. Orang-orang semacam inilah yang berhak untuk memperoleh pahala di sisi Allah, dan tak ada kekhawatiran atas mereka, dan mereka tidak merasa sedih. Ini berarti, bahwa orang yang memberikan sedekah kepada seseorang, kemudian ia menyebut-nyebut sedekah dan pemberiannya itu dengan kata-kata yang menyinggung perasaan dan kehormatan orang yang menerima sedekah itu, maka orang semacam ini tidak berhak memperoleh pahala di sisi Allah swt.
Ini adalah ajaran yang sangat tinggi nilainya, sebab ada orang yang menyumbangkan hartanya bukan karena mengharapkan rida Allah, melainkan hanya menginginkan popularitas dan kemasyhuran serta puji-pujian dan masyarakat, disiarkannya infaknya itu dengan cara yang menyolok, sehingga ia dikagumi sebagai seorang dermawan. Atau ketika memberikan sedekah itu ia mengucapkan kata-kata yang tidak menyenangkan bagi orang yang menerimanya. Pemberian semacam ini adalah bertentangan dengan tujuan agama, karena tidak akan menimbulkan hubungan kasih sayang dan persaudaraan, melainkan menimbulkan kebencian dan permusuhan. Sebab itu wajarlah jika orang-orang semacam ini tidak akan mendapatkan pahala di sisi Allah. [12]
Ringkasnya, menafkahkan harta di jalan Allah haruslah dengan niat yang ikhlas dan maksud yang suci. Atas niat yang ikhlas inilah Allah akan memberikan pahala, dan masyarakat akan menghargainya. Rasulullah saw. bersabda:
إنما الأعمال بالنية و إنما لكل امرئ ما نوي
Semua amal itu harus disertai dengan niat. Dan setiap manusia akan mendapat balasan atas amalnya berdasarkan niatnya itu. (HR Imam Bukhari dari Umar Ibnul Khattab)
Namun dalam ayat lain juga dijelaskan tentang kebolehan menafkahkan harta secara terang-trangan, tidak melulu harus disembunyikan atau dirahasiakan. Tentu, dengan batasan tidak mengumbar dan menyombongkan diri, yaitu pada al-Baqarah 274, (Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati).
2.      Tidak memilih-milih harta, dalam arti tidak usah takut kalau hartanya habis dan tidak usah bingung harta mana yang mau didermakan.
Al-Baqarah ayat 251, (Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.)
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Amir bin Al-Jamuh Al-Anshari, seorang yang telah lanjut usianya dan mempunyai banyak harta, bertanya kepada Rasulullah saw: "Harta apakah yang sebaiknya saya nafkahkan dan kepada siapa nafkah itu saya berikan?" Sebagai jawaban turunlah ayat ini. Nafkah yang dimaksud dalam ayat ini, ialah nafkah sunat, yaitu sedekah, bukan nafkah wajib seperti zakat dan lain-lain.
Ayat ini mengajarkan bahwa apa saja yang dinafkahkan, banyak atau pun sedikit pahalanya adalah untuk orang yang bernafkah itu dan tercatat di sisi Allah swt. sebagai amal saleh sebagaimana dijelaskan dalam satu hadis yang berbunyi:
إنما هي أعمالكم أحصيها لكم
Artinya:
Bahwasanya pahala amal perbuatanmu adalah kepunyaanmu Akulah yang mencatatnya untukmu.
(HR Muslim dari Abu Zar Al Ghafiri)
Dalam kaitannya dengan pemberian, maka sesuatu yang dinafkahkan itu hendaklah diberikan lebih dahulu kepada orang tua yaitu ibu-bapak, karena keduanya adalah orang yang paling berjasa kepada anaknya. Merekalah yang mendidiknya sejak dalam kandungan, dan di waktu kecil dan bersusah payah dalam menjaga pertumbuhannya. Sesudah itu barulah nafkah itu diberikan kepada kaum kerabat, seperti anak-anak saudara-saudara yang memerlukan bantuan. Mereka itu adalah orang-orang yang semestinya dibantu.
Karena kalau dibiarkan saja, akhirnya mereka akan mengemis kepada orang lain. Akibatnya akan memalukan keluarga. Kemudian kepada anak-anak yatim yang miskin karena masih kecil, belum bisa berusaha untuk memenuhi keperluannya. Akhirnya kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan untuk menutupi keperluannya, meringankan bebannya, karena sekalipun mereka tidak ada hubungan famili, tetapi mereka adalah anggota keluarga kaum muslimin, yang sewajarnya dibantu di kala mereka dalam kesusahan.[13]
3.      Tidak berlebihan dan boros/lali dalam bersedekah juga menjadi perhatian al-Quran.
Yaitu pada surat al-Furqan ayat 67, (Dan orang-orang yang apaabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian)
Penjelasan ayat ini yaitu: "Mereka dalam menafkahkan harta tidak boros dan tidak pula kikir, tetapi tetap memelihara keseimbangan antara kedua sifat yang buruk itu. Sifat boros pasti akan membawa kemusnahan harta benda dan kerusakan masyarakat. Seseorang yang boros walaupun kebutuhan pribadi dan keluarganya telah terpenuhi dengan hidup secara mewah, dia tetap akan menghambur-hamburkan kekayaannya dengan cara yang lain yang merusak, seperti main judi, main perempuan dan minum-minuman keras, dan lain sebagainya. Dengan demikian dia merusak dirinya sendiri, dan merusak masyarakat sekelilingnya padahal kekayaan yang dititipkan Allah kepadanya harus dipeliharanya sebaik-baiknya sehingga dapat bermanfaat untuk dirinya dan untuk masyarakatnya. Sifat kikir dan bakhilpun akan membawa kepada kerugian dan kerusakan, karena seseorang yang bakhil selalu berusaha menumpuk kekayaan walaupun dia sendiri hidup sebagai seorang miskin dan dia tidak mau mengeluarkan uangnya untuk kepentingan masyarakatnya. Sedang untuk kepentingan dirinya dan keluarganya dia merasa segan mengeluarkan uang apalagi untuk kepentingan orang lain. Dengan demikian akan tertumpuklah kekayaan itu pada diri orang seorang atau beberapa gelintir manusia yang serakah dan tamak. Orang yang seperti ini sifatnya diancam Allah dengan api neraka sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
ويل لكل همزة لمزة الذي جمع مالا وعدده يحسب أن ماله أخلده كلا لينبذن في الحطمة
Artinya:
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Hutamah. (Q.S. Al Humazah: 1-4)
Demikianlah sifat orang mukmin dalam bernafkah, dia tidak bersifat boros sehingga tidak memikirkan hari esok dan tidak pula bersifat kikir sehingga menyiksa dirinya sendiri karena hendak mengumpulkan kekayaan. Keseimbangan antara kedua macam sifat yang tercela itulah yang selalu dipelihara dan dijaganya. Kalau dia seorang kaya dia dapat membantu masyarakatnya sesuai dengan kekayaannya, dan kalau dia miskin dia dapat menguasai dirinya dengan hidup secara sederhana. Yazid bin Abi Habib berkata: Demikianlah sifat para sahabat Nabi Muhammad saw. Mereka bukan makan untuk bermewah-mewah menikmati yang enak-enak, mereka berpakaian bukan untuk bermegah-megah dengan keindahan. Tetapi mereka makan sekadar untuk menutup rasa lapar dan untuk menguatkan jasmani karena hendak beribadat melaksanakan perintah Tuhan. Mereka berpakaian sekadar untuk menutup aurat dan memelihara tubuh mereka terhadap angin dan panas. Abdul Malik bin Marwan di waktu dia mengawinkan Fatimah dengan Umar bin Abdul Aziz bertanya kepadanya: "Bagaimana engkau memberi nafkah kepada anakku?" Umar menjawab: "Aku memilih yang baik di antara dua sifat yang buruk". (maksudnya sifat yang baik di antara dua sifat yang buruk yaitu boros dan kikir). Kemudian dia membacakan ayat ini.[14]

Penutup
Ada beberapa hal yang menurut penulis menjadi simpulan dari tulisan ini. Pertama, membri merupakan kegiatan ibadah yang amat tinggi nilai pahalanya dan sosialnya, mengingat ia mrupakan manifestasi dari proses pemahaman ajaran, hablun mina Allah, dan proses kebersamaan dan kemanusiaan, hablun mina al-nas.
Kedua, jenis-jenis ibadah yang termasuk memberi yaitu infaq, sedekah, dan zakat. Ketiganya memiliki persamaan dan perbeaannya sendiri-sendiri. Namun memiliki tujuan satu: meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dari sgi sosial dan ekonomi. Hal ini tentu bertujuan untuk lebih mengukuhkan kesatuan umat, baik dalam lingkup agama maupun negara.
Ketiga, tata cara dalam memberi telah dijelaskan di dalam al-Quran.; yang dapat dijelaskan antara lain harus dipenuhi dengan rasa rela, tidak menghitung-hitung/memilah-milah harta ang ingin didermakan, dan harus dipikirkan dengan matang tentang rencana pengeluaran agar pada akhirnya terjadi keseimbangan yang apik.
Semoga apa yang panulis tuliskan di awal “Menulis untuk Tenangkan Hati” bisa menjadi kata-kata penyemangat dalam beribadah pada umumnya, dan “memberi” ada khususnya. Karena bukan untuk siapa-siapa kita melakukan ibadah hanya semata mngharap ridha dan menjalankan perintah Ilahi, semoga bisa menenangkan hati.
Akhirul kalam, apabila dalam tulisan ini masih trdapat banyak kesalahan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih.


Daftar Pustaka
Al-Quran al-Karim (Quraninword.exe)
Departemen Agama, Tafsir al-Quran al-Karim (Tafsir Indonesia). (HolyQuran.exe)
Kamus Cambrigde advanced (dictionary.exe)
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIoffline.exe)
Tafsir Jalalain. (HolyQuran.exe)

“Zakat, Infaq, Sadaqah: Pngertian serta Hukumnya” diunduh dari http://sister.imsa.us


[1] Penulis adalah mahasiswa jurusan Tafsir Hadits di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, semester empat.
[2] Kamus Cambrigde
[3] Departemen Agama, Tafsir al-Quran al-Karim (Tafsir Indonesia). (al-Baqarah:195)
[4] Departemen Agama, Tafsir al-Quran al-Karim (Tafsir Indonesia). (al-Baqarah:270)
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[6] “Zakat, Infaq, Sadaqah: Pngertian serta Hukumnya” diunduh dari http://sister.imsa.us
[7] Tafsir Jalalain. (al-Taubah:75)
[8] 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
[9] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[10] “Zakat, Infaq, Sadaqah: Pngertian serta Hukumnya” diunduh dari http://sister.imsa.us
[11] Perintah Allah swt. pada permulaan ayat ini ditujukan kepada Rasul-Nya, yaitu agar Rasulullah saw. mengambil sebagian dari harta benda mereka itu sebagai sedekah atau zakat untuk menjadi bukti tentang benarnya tobat mereka, karena sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka dari dosa yang timbul karena mangkirnya mereka dari peperangan dan untuk menyucikan dari mereka dari sifat "cinta harta" yang mendorong mereka untuk mangkir dari peperangan itu. Selain itu sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka pula dari semua sifat-sifat jelek yang timbul karena harta benda, seperti kikir, tamak, dengki, dan sebagainya.
Di samping itu juga dapat dikatakan, bahwa penunaian zakat adalah juga membersihkan harta benda yang tinggal sebab pada harta benda seseorang ada hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama Islam telah ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta bendanya tetap bercampur dengan hak orang lain yang haram untuk dimakannya. Akan tetapi, bila ia mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka bersihlah harta tersebut dari hak orang lain.
Selanjutnya dalam ayat ini Allah swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya dan juga kepada setiap pemimpin dan penguasa dalam masyarakat agar setelah melakukan pemungutan dan pembagian zakat itu, mereka berdoa kepada Allah bagi keselamatan dan kebahagiaan pembayar zakat karena doa tersebut akan menenangkan jiwa mereka, dan akan menenteramkan hati mereka, serta menimbulkan kepercayaan dalam hati mereka bahwa Allah swt. benar-benar telah menerima tobat mereka. Lihat: Departemen Agama, Tafsir al-Quran al-Karim (Tafsir Indonesia). (al-Taubah:103)
[12] Departemen Agama, Tafsir al-Quran al-Karim (Tafsir Indonesia). (al-Baqarah:262)
[13] Ibid. (al-Baqarah:215)
[14] Ibid. (al-Furqan:67)

0 Response to "Memberi untuk Tenangkan Hati"

  • Berkomentarlah dengan sopan dan bijak sesuai dengan isi konten.
  • Komentar yang tidak diperlukan oleh pembaca lain [spam] akan segera dihapus.
  • Apabila artikel yang berjudul "Memberi untuk Tenangkan Hati" ini bermanfaat, share ke jejaring sosial.
Konversi Kode