Oleh: Ahmad Muzaqqi[1]
(114211062)
Pendahuluan
Banyak hal yang bisa dijadikan
ladang pahala. Nabi SAW. pernah menjelaskan tentang su’batul iman (cabang-cabang
iman), yang terkecil adalah menyingkirkan batu dari jalan. Ada juga sebuah
hadis tentang seorang istreri yang akan mendapatkan pahala berlipat hanya
dengan mencium tangan suaminya sebagai bentuk pnghormatan. Kisah Ali yang
terdengar langkah kakinya di surga hanya karena shalat dua rakaat setiap habis
wudlu juga pernah dijelaskan oleh Nabi. Setidaknya dari beberapa hal tersebut,
terlihat betapa banyak amalan yang dapat mendatangkan ridha dan pahala dari
Allah SWT.
Lawan dari pahala adalah dosa.
Tidak seorang pun tahu bentuk dari keduanya, namun layaknya pahala, dosa juga
sangat mudah didapatkan oleh seorang hamba. Masih teringat kisah dua orang
saudara yang berbeda kelakuan selama di dunia, misalnya A dan B. Si A adalah
seorang hamba yang patuh pada ajaran agama dan si B tidak patuh. Pada salah
satu riwayat, keduanya diijinkan untuk mengintip masa depannya di akhirat
perihal surga dan neraka. Tentu si A adalah calon penghuni surga dan si B
mendapatkan neraka. Namun, hanya karena kesombongan si A yang terlalu percaya
diri dan si B yang merasa pasrah (bersrah diri, tawakal), maka kenyataan pun
berbalik. Pada akhirnya, si A mendapatkan neraka dan si B mendapatkan surga.
Kisah itu setidaknya memberikan ajaran bahwa surga-neraka dan pahala-dosa bukanlah
sesuatu yang bisa diprediksi dan hitung secara mudah. Harus ada ketulusan dan
kerelaan dalam beramal dan beribadah.
Konsep ini, menurut penulis,
sangat berkaitan dengan infaq, sedekah, zakat, dan yang lainnya. Hal-hal yang
bersifat “memberi” memang harus dibarengi dengan kerelaan. Hal inilah yang
menjadi titik permasalahan sekaligus titik pembahasan dalam tulisan ini.
Pembahasan
Infaq, sedekah, dan zakat
sepertinya telah menjadi trending topik di era baru, tahun 2014 ini.
Waktu-waktu mendekati pemilu memang kerap jadi ajang gengsi para calon
(Presiden ataupun anggota dewan). Tentu tak dapat dipungkiri lagi, di berbagai
stasiun televisi swasta, berbagai tokoh “calon” tersebut membuat acara “sedekah
masal” berhadiah berkisar antara 1-2 juta untuk tiap pemenang. Ada yang
dilakukan setiap hari, tiap minggu, bahkan sehari dua kali. Setelah semua fakta
itu, penulis mulai berasusmsi bahwa calon-calon pejabat di negeri ini dermawan
dan suka berbagi.
Terlepas sejenak dari fakta di
atas, apakah benar dengan bagi-bagi uang seperti itu sudah bisa dikatakan orang
yang dermawan. Orang dermawan di sini adalah orang yang mendermakan hartanya di
jalan Allah SWT. Maka dari itu, panulis ingin mengkaji hal menarik ini (tentang
memberi) dari kaca mata al-Quran dan al-Hadits.
Pengertian
Memberi
Dalam bahasa arab, “memberi”
berasal dari beberapa kata, yaitu nafaqa-yunfiqu, ata-yu’ti, a’tha-yu’thi.
Kata-kata tersebut disebutkan dalam berbagai redaksi nash. {...aqimu
al-shalata wa atu al-zakata...} sering disebutkan dalam al-Quran, atu
berarti menunaikan atau membayarkan. Sedangkan {matsalu alladzina yunfiquna
amwalahum...}, yunfiqu berarti membelanjakan atau menggunakan. {inna
a’thoinaka al-kautsar}, a’tha berarti memberikan.
Sedangkan dalam bahasa
inggris, kata memberi sering diartikan “give”. Hanya satu kata itu.
Artinya, memberikan sepenuhnya dan selamanya. Berdasarkan Kamus Cambrigde
advanced, ada 7 pemaknaan kata give, yaitu menawarkan, membayar (sebuah
tagihan), menceritakan/ memeritahu, memberi hukuman, mengalkulasi, mngizinkan,
dan memberikan sepenuhnya.[2]
Maka, memberi adalah proses
perpindahan sesuatu dari tempat dan pemilik awal (pemberi) kepada pmilik akhir
(penerima). Jika dikaitkan dengan kepemilikan Allah, maka pemberian di sini
lebih bermakna menganugerahkan dan juga menitipkan. Namun, pembahasan kita pada
tulisan ini adalah cenderung pada memberi antar manusia, seperti infaq,
sedekah, dan zakat.
Yang
Dikategorikan “Memberi”
Bertolak dari pengertian dan
pemahaman tentang memberi, maka ia sangat berbeda dengan bay’ (jual
beli) ataupun dayn (hutang). Maka, hal-hal yang bisa dikategorikan dalam
memberi yaitu:
Pertama,
infaq
Al-Baqarah menjadi surat yang
paling banyak membahas tiga hal yang sedang dijelaskan. Seperti pada ayat
ke-195, Orang-orang mukmin diperintahkan membelanjakan harta kekayaannya untuk
berjihad fisabilillah dan dilarang menjatuhkan dirinya ke dalam jurang
kebinasaan karena kebakhilannya. Jika suatu kaum menghadapi peperangan
sedangkan mereka kikir, tidak mau membiayai peperangan itu, maka perbuatannya
itu berarti membinasakan diri mereka saja.[3]
Dari ayat tersebut dapat
dipahami bahwa kata infaq sebenarnya berarti membelanjakan secara umum,
dalam hal apapun. Hal ini juga berkaitan dengan nafaqah (nafkah) dalam
keluarga yang sejatinya mencakup pembiayaan apa saja, seperti al-Baqarah ayat
270. Dalam ayat ini Allah swt. menyebutkan infak pada umumnya, baik infak yang
diridai-Nya, maupun yang tidak. Demikian pula mengenai nazar. Lalu ditegaskan
bahwa Dia mengetahui semua infak dan nazar yang dilakukan manusia, sehingga Dia
akan memberikan pahala jika infak dan nazar itu baik, sebaliknya Dia akan
memberikan siksa, apabila infak dan nazar itu tidak baik.[4]
Namun demikian, pemaknaan kata
infaq di Indonesia telah mengalami penyempitan, sekarang “infak” (versi
KBBI, bukan infaq) dimaknai sebagai pemberian (sumbangan) harta dsb (selain
zakat wajib) untuk kebaikan, sedekah, dan nafkah. Sedangkan “menginfakkan”
berarti menyumbangkan harta untuk kepentingan umum.[5]
Kedua,
sadaqah
Makna kata shadaqa
adalah benar. Cakupan maknanya lebih luas ketimbang infaq. Shadaqah adalah pemberian untuk
orang/pihak lain. Jik aInfaq hanya ditunjukkan pada hal-hal yang bersifat
material seperti uang atau benda-benda lain yang berharga dan bermanfaat,
sedangkan sadaqah
bisa bersifat materi maupun bukan materi. Dalam kaitannya dengan syariat, maka
shadaqah adalah amalan sosial bersifat sunnah, begitu juga infaq.
Dalam hadist riwayat Muslim,
Rasulullah SAW memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap
orang kaya yang banyak bershadaqah dengan hartanya, beliau bersabda:
“Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir shadaqah, setiap tahmid shadaqah,
setiap tahlil shadaqah, amar ma’ruf shadaqah, nahi munkar shadaqah dan
menyalurkan syahwatnya pada istri juga shadaqah”. Maka shadaqah adalah ungkapan
kejujuran (shidiq) iman seseorang. Oleh karena itu, Allah SWT menggabungkan
antara orang yang memberi harta dijalan Allah dengan orang yang membenarkan adanya
pahala yang terbaik.[6]
Salah satu ayat al-Quran yang
mengisahkan tentang bagaimana konsep shadaqah adalah al-Baqarah ayat 75, (Dan
di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, "Sesungguhnya
jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan
bersedekah, dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh."). Orang
yang dimaksud ialah Tsa'labah bin Hathib, pada suatu hari ia meminta kepada
Nabi saw. supaya mendoakannya, semoga Allah memberinya rezeki harta, kelak ia
akan menunaikan hak-haknya kepada setiap orang yang berhak menerimanya.
Kemudian Nabi saw. mendoakannya sesuai dengan permintaannya itu; akhirnya Allah
memberinya harta yang banyak, sehingga ia lupa akan salat Jumat dan salat
berjemaah yang biasa dilakukannya karena sibuk dengan hartanya yang banyak itu,
dan lebih parah lagi ia tidak menunaikan zakatnya sebagaimana yang dijelaskan pada
ayat berikutnya.[7]
Literatur ayat ini memberikan
penjelasan tentang sasaran shadaqah, yaitu mustahiq, orang-orang
yang berhak. Sedangkan penjelasan tentang mustahiq juga disebutkan pada
ayat lain, al-Taubah ayat 60, yaitu para fakir, miskin, pengurus-pengurus
zakat, mu'allaf (yang masih lemah hatinya), untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, sabilillah dan untuk mereka para musafir.[8]
Literatur bahasa Indonesia
menyebutnya “sedekah”, maknanya adalah pemberian sesuatu kepada fakir miskin
atau yg berhak menerimanya, di luar kewajiban zakat dan zakat fitrah sesuai dengan
kemampuan pemberi.[9]
Sedekah di sini juga mengalami penyempitan makna, yang lebih bermakna khusus
untuk kaum kurang mampu.
Ketiga,
zakat
Zakat adalah jumlah harta
tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan
kepada golongan yang berhak menerimanya. menurut ketentuan yang telah
ditetapkan oleh syarak. Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam.
Menurut Bahasa, zakat berarti
: tumbuh, berkembang, kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat
pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10) Menurut Hukum
Islam (istilah syara’), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari
harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan
kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy).[10]
Pada perkembangannya, zakat
menjadi salah satu pilar agama, terutama dalam kaitannya dengan dunia sosial.
Jika shalat identik dengan ibadah kepada Allah (hablun mina Allah), maka
zakat lebih kepada manusia (hablun mina al-nas).
Zakat adalah ibadah yang
nantinya dapat membersihkan jiwa sesorang, al-Taubah 103, (Ambilah zakat
dari sebagiaan harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkaan dan mensucikan
mereka, dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi)
ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui)[11].
Cara
Memberi yang Benar
Telaah tentang “cara memberi”
ini sangat erat kaitannya dengan kajian tafsir ayat-ayat tentang memberi
(infaq, shadaqah, dan zakat). Setidaknya ada beberapa poin utama dalam aturan
dan cara yang baik dalam memberi berdasarkan ayat,
1.
Tulus, tidak mengungkit
pemberian (al-Baqarah: 262)
Al-Baqarah ayat 262, (Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa
yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.)
Dalam
ayat ini Allah menegaskan bahwa pahala dan keberuntungan yang akan didapat oleh
orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, ada syaratnya, yaitu bahwa ia
memberikan hartanya itu benar-benar dengan ikhlas, dan setelah itu ia tidak
suka menyebut-nyebut infaknya itu dengan kata-kata yang dapat melukai perasaan
orang yang menerimanya. Orang-orang semacam inilah yang berhak untuk memperoleh
pahala di sisi Allah, dan tak ada kekhawatiran atas mereka, dan mereka tidak
merasa sedih. Ini berarti, bahwa orang yang memberikan sedekah kepada
seseorang, kemudian ia menyebut-nyebut sedekah dan pemberiannya itu dengan
kata-kata yang menyinggung perasaan dan kehormatan orang yang menerima sedekah
itu, maka orang semacam ini tidak berhak memperoleh pahala di sisi Allah swt.
Ini
adalah ajaran yang sangat tinggi nilainya, sebab ada orang yang menyumbangkan
hartanya bukan karena mengharapkan rida Allah, melainkan hanya menginginkan
popularitas dan kemasyhuran serta puji-pujian dan masyarakat, disiarkannya
infaknya itu dengan cara yang menyolok, sehingga ia dikagumi sebagai seorang
dermawan. Atau ketika memberikan sedekah itu ia mengucapkan kata-kata yang
tidak menyenangkan bagi orang yang menerimanya. Pemberian semacam ini adalah
bertentangan dengan tujuan agama, karena tidak akan menimbulkan hubungan kasih
sayang dan persaudaraan, melainkan menimbulkan kebencian dan permusuhan. Sebab
itu wajarlah jika orang-orang semacam ini tidak akan mendapatkan pahala di sisi
Allah. [12]
Ringkasnya,
menafkahkan harta di jalan Allah haruslah dengan niat yang ikhlas dan maksud
yang suci. Atas niat yang ikhlas inilah Allah akan memberikan pahala, dan
masyarakat akan menghargainya. Rasulullah saw. bersabda:
إنما الأعمال بالنية و إنما لكل امرئ ما
نوي
Semua
amal itu harus disertai dengan niat. Dan setiap manusia akan mendapat balasan
atas amalnya berdasarkan niatnya itu. (HR Imam Bukhari dari Umar
Ibnul Khattab)
Namun
dalam ayat lain juga dijelaskan tentang kebolehan menafkahkan harta secara terang-trangan,
tidak melulu harus disembunyikan atau dirahasiakan. Tentu, dengan batasan tidak
mengumbar dan menyombongkan diri, yaitu pada al-Baqarah 274, (Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara tersembunyi dan
terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati).
2.
Tidak memilih-milih
harta, dalam arti tidak usah takut kalau hartanya habis dan tidak usah bingung
harta mana yang mau didermakan.
Al-Baqarah ayat 251, (Mereka
bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang
kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan."
dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha
mengetahuinya.)
Ibnu
Abbas meriwayatkan bahwa Amir bin Al-Jamuh Al-Anshari, seorang yang telah
lanjut usianya dan mempunyai banyak harta, bertanya kepada Rasulullah saw:
"Harta apakah yang sebaiknya saya nafkahkan dan kepada siapa nafkah itu
saya berikan?" Sebagai jawaban turunlah ayat ini. Nafkah yang dimaksud
dalam ayat ini, ialah nafkah sunat, yaitu sedekah, bukan nafkah wajib seperti
zakat dan lain-lain.
Ayat
ini mengajarkan bahwa apa saja yang dinafkahkan, banyak atau pun sedikit
pahalanya adalah untuk orang yang bernafkah itu dan tercatat di sisi Allah swt.
sebagai amal saleh sebagaimana dijelaskan dalam satu hadis yang berbunyi:
إنما هي أعمالكم أحصيها لكم
Artinya:
Bahwasanya pahala amal perbuatanmu adalah kepunyaanmu Akulah yang mencatatnya untukmu.
(HR Muslim dari Abu Zar Al Ghafiri)
Bahwasanya pahala amal perbuatanmu adalah kepunyaanmu Akulah yang mencatatnya untukmu.
(HR Muslim dari Abu Zar Al Ghafiri)
Dalam kaitannya
dengan pemberian, maka sesuatu yang dinafkahkan itu hendaklah diberikan lebih
dahulu kepada orang tua yaitu ibu-bapak, karena keduanya adalah orang yang
paling berjasa kepada anaknya. Merekalah yang mendidiknya sejak dalam
kandungan, dan di waktu kecil dan bersusah payah dalam menjaga pertumbuhannya.
Sesudah itu barulah nafkah itu diberikan kepada kaum kerabat, seperti anak-anak
saudara-saudara yang memerlukan bantuan. Mereka itu adalah orang-orang yang
semestinya dibantu.
Karena kalau dibiarkan saja, akhirnya mereka akan mengemis kepada orang lain. Akibatnya akan memalukan keluarga. Kemudian kepada anak-anak yatim yang miskin karena masih kecil, belum bisa berusaha untuk memenuhi keperluannya. Akhirnya kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan untuk menutupi keperluannya, meringankan bebannya, karena sekalipun mereka tidak ada hubungan famili, tetapi mereka adalah anggota keluarga kaum muslimin, yang sewajarnya dibantu di kala mereka dalam kesusahan.[13]
Karena kalau dibiarkan saja, akhirnya mereka akan mengemis kepada orang lain. Akibatnya akan memalukan keluarga. Kemudian kepada anak-anak yatim yang miskin karena masih kecil, belum bisa berusaha untuk memenuhi keperluannya. Akhirnya kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan untuk menutupi keperluannya, meringankan bebannya, karena sekalipun mereka tidak ada hubungan famili, tetapi mereka adalah anggota keluarga kaum muslimin, yang sewajarnya dibantu di kala mereka dalam kesusahan.[13]
3.
Tidak berlebihan dan
boros/lali dalam bersedekah juga menjadi perhatian al-Quran.
Yaitu
pada surat al-Furqan ayat 67, (Dan orang-orang yang apaabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian)
Penjelasan
ayat ini yaitu: "Mereka dalam menafkahkan harta tidak boros dan tidak pula
kikir, tetapi tetap memelihara keseimbangan antara kedua sifat yang buruk itu.
Sifat boros pasti akan membawa kemusnahan harta benda dan kerusakan masyarakat.
Seseorang yang boros walaupun kebutuhan pribadi dan keluarganya telah terpenuhi
dengan hidup secara mewah, dia tetap akan menghambur-hamburkan kekayaannya
dengan cara yang lain yang merusak, seperti main judi, main perempuan dan
minum-minuman keras, dan lain sebagainya. Dengan demikian dia merusak dirinya
sendiri, dan merusak masyarakat sekelilingnya padahal kekayaan yang dititipkan
Allah kepadanya harus dipeliharanya sebaik-baiknya sehingga dapat bermanfaat
untuk dirinya dan untuk masyarakatnya. Sifat kikir dan bakhilpun akan membawa
kepada kerugian dan kerusakan, karena seseorang yang bakhil selalu berusaha
menumpuk kekayaan walaupun dia sendiri hidup sebagai seorang miskin dan dia
tidak mau mengeluarkan uangnya untuk kepentingan masyarakatnya. Sedang untuk
kepentingan dirinya dan keluarganya dia merasa segan mengeluarkan uang apalagi
untuk kepentingan orang lain. Dengan demikian akan tertumpuklah kekayaan itu
pada diri orang seorang atau beberapa gelintir manusia yang serakah dan tamak.
Orang yang seperti ini sifatnya diancam Allah dengan api neraka sebagaimana
tersebut dalam firman-Nya:
ويل لكل همزة لمزة الذي جمع مالا وعدده
يحسب أن ماله أخلده كلا لينبذن في الحطمة
Artinya:
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Hutamah. (Q.S. Al Humazah: 1-4)
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Hutamah. (Q.S. Al Humazah: 1-4)
Demikianlah
sifat orang mukmin dalam bernafkah, dia tidak bersifat boros sehingga tidak
memikirkan hari esok dan tidak pula bersifat kikir sehingga menyiksa dirinya
sendiri karena hendak mengumpulkan kekayaan. Keseimbangan antara kedua macam
sifat yang tercela itulah yang selalu dipelihara dan dijaganya. Kalau dia
seorang kaya dia dapat membantu masyarakatnya sesuai dengan kekayaannya, dan
kalau dia miskin dia dapat menguasai dirinya dengan hidup secara sederhana.
Yazid bin Abi Habib berkata: Demikianlah sifat para sahabat Nabi Muhammad saw.
Mereka bukan makan untuk bermewah-mewah menikmati yang enak-enak, mereka berpakaian
bukan untuk bermegah-megah dengan keindahan. Tetapi mereka makan sekadar untuk
menutup rasa lapar dan untuk menguatkan jasmani karena hendak beribadat
melaksanakan perintah Tuhan. Mereka berpakaian sekadar untuk menutup aurat dan
memelihara tubuh mereka terhadap angin dan panas. Abdul Malik bin Marwan di
waktu dia mengawinkan Fatimah dengan Umar bin Abdul Aziz bertanya kepadanya:
"Bagaimana engkau memberi nafkah kepada anakku?" Umar menjawab:
"Aku memilih yang baik di antara dua sifat yang buruk". (maksudnya
sifat yang baik di antara dua sifat yang buruk yaitu boros dan kikir). Kemudian
dia membacakan ayat ini.[14]
Penutup
Ada beberapa hal yang menurut
penulis menjadi simpulan dari tulisan ini. Pertama, membri merupakan
kegiatan ibadah yang amat tinggi nilai pahalanya dan sosialnya, mengingat ia
mrupakan manifestasi dari proses pemahaman ajaran, hablun mina Allah,
dan proses kebersamaan dan kemanusiaan, hablun mina al-nas.
Kedua,
jenis-jenis ibadah yang termasuk memberi yaitu infaq, sedekah, dan zakat.
Ketiganya memiliki persamaan dan perbeaannya sendiri-sendiri. Namun memiliki
tujuan satu: meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dari sgi sosial dan
ekonomi. Hal ini tentu bertujuan untuk lebih mengukuhkan kesatuan umat, baik
dalam lingkup agama maupun negara.
Ketiga, tata
cara dalam memberi telah dijelaskan di dalam al-Quran.; yang dapat dijelaskan
antara lain harus dipenuhi dengan rasa rela, tidak
menghitung-hitung/memilah-milah harta ang ingin didermakan, dan harus
dipikirkan dengan matang tentang rencana pengeluaran agar pada akhirnya terjadi
keseimbangan yang apik.
Semoga apa yang panulis
tuliskan di awal “Menulis untuk Tenangkan Hati” bisa menjadi kata-kata
penyemangat dalam beribadah pada umumnya, dan “memberi” ada khususnya. Karena
bukan untuk siapa-siapa kita melakukan ibadah hanya semata mngharap ridha dan
menjalankan perintah Ilahi, semoga bisa menenangkan hati.
Akhirul kalam,
apabila dalam tulisan ini masih trdapat banyak kesalahan, penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Terima kasih.
Daftar Pustaka
Al-Quran al-Karim (Quraninword.exe)
Departemen Agama, Tafsir al-Quran
al-Karim (Tafsir Indonesia). (HolyQuran.exe)
Kamus Cambrigde advanced
(dictionary.exe)
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBIoffline.exe)
Tafsir Jalalain. (HolyQuran.exe)
“Zakat, Infaq, Sadaqah: Pngertian serta Hukumnya” diunduh
dari http://sister.imsa.us
[1] Penulis adalah mahasiswa jurusan Tafsir
Hadits di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, semester empat.
[2] Kamus Cambrigde
[3] Departemen Agama, Tafsir al-Quran
al-Karim (Tafsir Indonesia). (al-Baqarah:195)
[4] Departemen Agama, Tafsir al-Quran
al-Karim (Tafsir Indonesia). (al-Baqarah:270)
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[6] “Zakat, Infaq, Sadaqah: Pngertian serta
Hukumnya” diunduh dari http://sister.imsa.us
[7] Tafsir Jalalain. (al-Taubah:75)
[8] 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara
hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2.
orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan
kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan
membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan
orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak:
mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6.
orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan
maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk
memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia
mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan
pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat
bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti
mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam
perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
[9] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[10] “Zakat, Infaq, Sadaqah: Pngertian serta
Hukumnya” diunduh dari http://sister.imsa.us
[11] Perintah Allah
swt. pada permulaan ayat ini ditujukan kepada Rasul-Nya, yaitu agar Rasulullah
saw. mengambil sebagian dari harta benda mereka itu sebagai sedekah atau zakat
untuk menjadi bukti tentang benarnya tobat mereka, karena sedekah atau zakat
tersebut akan membersihkan diri mereka dari dosa yang timbul karena mangkirnya
mereka dari peperangan dan untuk menyucikan dari mereka dari sifat "cinta
harta" yang mendorong mereka untuk mangkir dari peperangan itu. Selain itu
sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka pula dari semua
sifat-sifat jelek yang timbul karena harta benda, seperti kikir, tamak, dengki,
dan sebagainya.
Di samping itu juga dapat dikatakan,
bahwa penunaian zakat adalah juga membersihkan harta benda yang tinggal sebab
pada harta benda seseorang ada hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh
agama Islam telah ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat.
Selama zakat itu belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu
pula harta bendanya tetap bercampur dengan hak orang lain yang haram untuk
dimakannya. Akan tetapi, bila ia mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka
bersihlah harta tersebut dari hak orang lain.
Selanjutnya dalam ayat ini Allah swt.
memerintahkan kepada Rasul-Nya dan juga kepada setiap pemimpin dan penguasa
dalam masyarakat agar setelah melakukan pemungutan dan pembagian zakat itu,
mereka berdoa kepada Allah bagi keselamatan dan kebahagiaan pembayar zakat
karena doa tersebut akan menenangkan jiwa mereka, dan akan menenteramkan hati
mereka, serta menimbulkan kepercayaan dalam hati mereka bahwa Allah swt.
benar-benar telah menerima tobat mereka. Lihat: Departemen Agama, Tafsir al-Quran
al-Karim (Tafsir Indonesia). (al-Taubah:103)
[12] Departemen Agama, Tafsir al-Quran
al-Karim (Tafsir Indonesia). (al-Baqarah:262)
[13] Ibid. (al-Baqarah:215)
[14] Ibid.
(al-Furqan:67)
0 Response to "Memberi untuk Tenangkan Hati"