Oleh: Hilyatuz Zulfa
(Mahasiswa Jurusan Tafsir dan Hadits, Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang)
PENGERTIAN QIYAS
Qiyas
menurut bahasa Arab berarti menyamakan,membandingkan,atau mengukur,. Menurut
para ulama Ushul fiqih, Qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada
suatu kejadian atau perstiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut.
Suatu
Qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada
satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa
atau kejadian.
Contoh :
1.
Minum narkotik,
untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan mencari perbuatan yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan minum khamar.
Antara minum narkotik dan minum khamar ada persamaan illatnya, yaitu sama-sama
berakibat memabukkan para peminumnya,sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan
persamaan illat itu maka ditetapkanlah hukum minum narkotik itu haram,seperti
huku meminum khamar. Firman Allah SWT :
يآايها
الذين آمنوآ انما الخمر والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه
لعلكم تفلحون (المائده : 90)
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya minum khamar,berjudi,menyembah patung
dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang
kotor,termasuk perbuatan syaitan,karena iu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat
keberuntungan (Q.S. al-Maidah : 90)
2.
Melakukan suatu
pekerjaan, seperti mencangkul sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya saat
mendengar adzan shalat jum’at,kegiatan itu belum ditetapkan hukumnya. Maka
dalam menentukan hukumnya dengan mencari perbuatan yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasakan nash, yaitu seperti kegiatan jual beli. Kegiatan
semacam itu diharamkan karena akan mengganggu shalat. Firman Allah SWT :
يآايها
الذين آمنوآ اذانودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكرالله وذروالبيع ذلكم
خيرلكم انكنتم تعلمون ( الجمعة :9)
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, apabila diserukan (adzan) untuk sembahyang hari
jum’at, maka hendaklah segera mengingat Allah (shalat Jum’at) dan meninggalkan
jual-beli. Yang demikian itu lebih baik unukmu jika kamu mengetahui. (Q.S.
al-Jum’ah : 9)
DASAR HUKUM
QIYAS
Sebagian besar para ulama fiqh sependapat bahwa Qiyas dapat dijdikan
salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum ajaran islam. Hanya
mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan Qiyas atau macam-macam Qiyas
yang boleh digunakan dalam menentukan hukum. Namun mereka baru melakukan Qiyas
apabila tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasarnya.
Mengenai
dasar hokum Qiyas bagi yang memperbolehkannya sebagai hujjah yaitu :
1.
Al-Qur’an
يآايهاالذين آمنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الامرمنكم فان
تنازعتم في شئ فردوه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون باالله واليوم الآخر ذلك
خيرواحسن تأويلا (النساء: 59)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya dan Ulil amri kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu,maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul,jika kamu beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Q.S An-Nisa’: 59)
Dari ayat di atas dapat diambil pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan
kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Jika tidak ada di dalam keduanya,maka hendaklah mengikuti pendapat
Ulil Amri.
2.
Al-Hadits
Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’az bin Jabal sebagai gubernur
Yaman, beliau bertanya kepadanya:
كيف تقضى اءذا عرض لك قضاء ؟ قال : أقضى بكتاب الله. قال : فاءن لم
تجد في كتاب الله ؟ قال : فبسنة رسول الله. قال :فاءن لم تجدفى سنة رسول الله.
قال: أجتهد رأيى ولاآلو. فضرب رسول الله صدره وقال: الحمد لله الذي وفق رسول رسول
الله لمايرضى الله ورسوله.
(رواه احمدوابوداودوالترمذي )
Artinya : Bagaimana (cara) kamu menentukan hokum apabila
dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’az menjawab: Akan aku tetapkan
berdasarkan Al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam Al-Qur’an? Mu’az
berkata: akan aku tetapkan dengan sunah Rasulullah. Jika engkau tidak
memperoleh sunah Rasulullah? Mu’az menjawab: aku akan berijtihad dengan
menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’az berkata) : Lalu
rasulullah SAW menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah
member petunjuk petugas yang di angkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai
dengan yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. (H.R.Ahmad Abu Daud dan At-Tirmizi).
3.
Perbuatan
sahabat
Khalifah Umar bin Khattab pernah menulis surat kepada Abu Musa Al
Asy’ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seseorang
hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau adalah:
ثم افهم فيما أدلى اليك مما وردعليك مما ليس في القرآن ولاسنة ثم قايس
الامورعندذلك. واعرف الأمثال ثم اعمد فيماترى الى أحبها الى الله واشبهها بالحق
Artinya: ……..kemudian fahamilah benar-benar persoalan yang
dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan
Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap
perkara-perkara itu dan carilah cotoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada
pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan
kebenaran……….
4.
Penalaran akal
Bahwasanya nash-nash Al-Qr’an dan Assunah terbatas jumlahnya dan
ada habisnya. Sedangkan kejadian dan persoalan manusia tidak terbatas
jumlahnya. Ma qiyas merupakan sumber pembentukan hokum yang sejalan dengan
kejadian yang terus menerus datang dan menyingkap hokum syari’at terhadap
berbagai peristiwa baru. Dan bahwasanya qiyas merupakan dikuatkan oleh fitrah yang sehat dan logika yang benar.
Mengenai
alasan golongan yang tidak menerima Qiyas :
1.
Menurut mereka
qiyas dilakukan atas dasar dhan (dugaan keras), dan illatnyapun ditetapkan
berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah SWT melarang kaum muslimin
mengikuti sesuatu yang dhan, Firman Allah SWT:
ولا
تقف ماليس لك به علم.......(الاسرأ: 36)
Artinya: Jangan kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu…….(Q.S.
Al-Isra’: 36)
2.
Sebagian
sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan
akal pikiran, seperti pernyataan Umar bin Khattab:
اياكم
وأصحاب الرأي فاءنهم أعداء السنن أعيتهم الاحاديث أن يحفظوها فقالوا بالرأي فضلوا
وأضلوا
Artinya:
Jauhilah oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli
sunah. Karena mereka tidak sanggup menghafal hadits-hadits,lalu mereka
menyatakan pendapat akal mereka (saja),sehingga mereka sesat dan menyesatkan
orang.
RUKUN QIYAS
- Ashal
Ashal,yang berarti pokok,yaitu suatu peristiwa yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang
menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih
(tempat membandingkan)
- Fara’
Fara’ yang berate cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum
ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai
dasarnya.Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah ( yang
diserupakan ) atau mahmul (yang dibandingkan).
- Hukum ashal
Yaitu hokum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan
hokum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan
illatnya.
- ‘Illat
Yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari
pada fara’. Seandainya sifat itu ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu
menjadi dasar untuk menetapkan hokum fara’ sama dengan hokum ashal.
Contoh : menjual
harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya
karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini
disebut Fara’. Untuk menetapkan hukumnya, maka dicari suatu peristiwa lain yang
telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yang illatnya sama dengan peristiwa
pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim, yang disebut ashal.
Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yaitu haram
(hokum ashal) yang berdasarkan Firman Allah SWT:
اءن
الذين يأكلون اموال اليتامى ظلما انما ياءكلون فى بطونهم نارا وسيصلون سعيرا
(النساء: 10)
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). (Q.S.An-nisa’ :10)
Persamaan illat
antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkan hokum menjual
harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan :
·
Ashal :
memakan harta anak yatim
·
Fara’ :
menjual harta anak yatim
·
Hukum ashal : haram
·
Illat :
mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim
SYARAT-SYARAT
QIYAS
1.
Ashal dan Fara’
Ashal
disyaratkan berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash, sedang Fara’ berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya
karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Hal ini berarti bahwa
seandainya terjadi qiyas, kemudian diketemukan nash yang dapat dijadikan
sebagai dasarnya,maka qiyas itu batal dan hukum Fara’ itu ditetapkan
berdasarkan nash yang baru ditemukan itu.
2.
Hukum ashal
a.
Hokum ashal itu
hendaklah hokum syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hokum
syara’,sedangkan sandaran hokum syara’ itu adalah nash. Atas dasar yang
demikian, maka jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi
sandaran qiyas, karena ijma’ adalah hokum yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan, tidak memiliki sandaran, selain dari kesepakatan para mujtahid.
b.
Illat hokum
ashal itu adalah illat yang dapat dicapai oleh akal. Jika illat hokum ashal itu
tidak dapat dicapai oleh akal, maka tidaklah mungkin hokum ashal itu digunakan
untuk menetapkan hokum pada peristiwa atau kejadian yang lain (fara’) secara
qiyas.
c.
Hokum ashal itu
tidak merupakan hokum pengecualian atau hokum yang berlaku khusus untuk satu
peristiwa atau kejadian tertentu. Hokum ashal macam ini ada dua macam,yaitu:
·
Illat hokum itu
hanya ada pada hokum ashal saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti
dibolehkannya mengqasar shalat bagi orang musafir. Illat yang masuk akal dalam
hla ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (musyaqqat). Tetapi
Al-qur’an dan hadits menerangkan bahwa illatnya itu bukan karena musyaqqat tetapi
karena adanya safar (perjalanan).
·
Dalil
(al-qur’an dan hadits) menunjukkan bahwa hokum ashal itu berlaku khusus, tidak
berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari
empat hanya diperbolehkan bagi Rasulullah SAW.
3.
‘Illat
Illat merupakan
sifat dan keadaan yang melekat pada peristiwa atau perbuatan hokum yang terjadi
dan menjadi sebab hokum, sedangkan hikmah adalah akibat positif dan hasil yang
dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hokum. Contoh seorang musafir boleh
mengqosor shalatnya,seperti mengerjakan shalat dzuhur yang 4 rakaat menjadi 2
rakaat. Hikmahnya adalah untuk menghilangkan kemudharatan. Hikmah ini hanya
merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar atau tidaknya hokum,
sedangkan illat adalah suatu yang nyata dan pasti, seperti safar (dalam
perjalanan) menyebabkan seorang boleh mengqasar shalat.
a.
Syarat-syarat ‘Illat
1.
Sifat illat itu
hendaknya nyata, masih terjangkau oleh akal dan pancaindera.
2.
Sifat illat itu
hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa illat itu ada
pada fara’, karena azas qiyas itu ialah adanya persamaan illat antara ashal dan
fara’.
3.
Illat harus
berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hokum, dengan arti bahwa
keras dugaan bahwa illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Contoh : pembunuhan
dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam
qishash itu terkandung suatu hikmah hokum yaitu untuk memelihara kehidupan
manusia.
4.
Illat itu tidak
hanya terdapat pada ashal saja, tetapi harus berupa sifat yang dapat pula
diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hokum-hukum
yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas.
Misalnya mengawini wanita lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus yang
berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang lain.
b.
Pembagian ‘Illat
1.
Munasib
mu’tsir, yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara’ dengan sempurna,
atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hokum (syara’) telah menciptakan
hokum sesuai dengan sifat itu. Contoh dalam Q.S.al-baqoroh: 222, Allah SWT (
sebagai Syara’) telah menetapkan hokum, yaitu haram mencampuri isteri yang
sedang haidh. Sebagai dasar penetapan hokum itu ialah kotoran, karena kotoran
itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai illatnya. Kotoran sebagai
sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haidh adalah sifat
yang sesuai dan menentukan penetapan hokum.
2.
Munasib
mula-im, yaitu
persesuaian yang diungkapkan syara’ pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah
persesuaian itu tidak diungkapkan syara’ sebagai illat hokum pada masalah yang
sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai illat hokum dan disebut dalam nash
pada masalah yang lain yang sejenis dengan hokum yang sedang dihadapi.
3.
Munasib mursal,
yaitu munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh
syara’. Munasib ini berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan
hokum atas dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang
menyatakan bahwa syara’ membolehkan atau tidak membolehkannya, seperti
membukukan Al-qur’an dalam satu mushaf, tidak ada dalil yang membolehkan atau
melarangnya. Tetapi kholifah Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya bagi
seluruh kaum muslimin.
4.
Masaalikul mulghaa, yaitu munasib yang yidak diungkapkan oleh
syara’ sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan hokum
atas dasian. Illat yang demikian disebut illat manshush ‘alaih. Melakukan qiyas
berdasarkan illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan
hokum sesuatu berdasarkan nasharnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Cotoh,
keadaan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam kerabat. Atas dasar persamaan
itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan mereka dalam warisan. Tetapi syara’
mengisyaratkan pembatalannya dengan menyatakan bahwa bagian laki-laki adalah
dua kali bagian perempuan.
c.
Masalikul ‘Illat
(cara mencari Illat)
Ialah cara atau
metode yang digunakan untuk mencari sifat atau illat dari suatu peristiwa atau
kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hokum. Di antara cara
tersebut, ialah :
1.
Nash
yang menunjukkannya
Dalam hal ini
nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan illat hokum dari
suatu peristiwa atau kejadian. Illat yang demikian disebut illat manshush
‘alaih. Melakukan qiyas berdasarkan illat yang disebutkan oleh nash pada
hakikatnya adalah menetapkan hokum sesuatu berdasarkan nash. Petunjuk nash
tentang sifat sesuatu kejadian atau peristiwa yanag merupakan illat itu ada dua
macam, yaitu:
a.
Dalalah
sharahah, ialah penunjukan lafadz yang terdapat dalam nash kepada illat hokum
jelas sekali. Atau dangan perkataan lain bahwa lafadz nash itu sendiri yang
menunjukkan illat hokum dengan jelas,seperti ungkapan yang terdapat dalam nash
: supaya demikian atau sebab demikian.
Dalalah
sharahah ada dua yaitu: Dalalah sharahah yang Qath’I, ialah apabila penunjukan
kepada illat hokum itu pasti dan yakin, tidak mungkin dialihkan kepada hokum
yang lain. Dalalah sharahah yang dhanni, ialah apabila penunjukan nash kepada
illat hokum itu adalah berdasarkan dugaan keras (dhanni), karena kemungkinan
dapat dibawa kepada illat hokum yang lain.
b.
Dalalah Ima’ (
isharah), ialah petunjuk yang difahami dari sifat yang menyertainya, atau
dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang menyertai petunjuk itu dan
sifat itu merupakan illat ditetapkannya suatu hokum. Jika penyertaan sifat itu
tidak dapat difahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu.
2.
Ijma’
yang menunjukkannya
Maksudnya,
ialah illat itu ditetapkan dengan ijma’, belum baligh (masih kecil) menjadi
illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal ini disepakati
oleh para ulama.
3.
Dengan
penelitian
a.)
Munasabah ialah
persesuaian antara sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau
larangan. Persesuaian tersebut ialah persesuaian yang dapat diterima akal,
karena persesuaian itu ada hubungannya dengan mengambil manfaat dan menolak
kerusakan atau kemudharatan bagi manusia.
b.)
Assabru wa
taqsim ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa
atau kejadian, kemudian memisahkan atau memelihra diantara sifat-sifat itu yang
paling tepat dijadikan sebagai illat hokum.
c.)
Tanqiihul
manath ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada fara’ dan sifat-sifat yang
ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama
dijadikan sebagai illat, sedangkan sifat yang tidak sama ditinggalkan.
d.)
Tahqiqul manath
ialah sepakat menetapkan illat pada ashal, baik berdasarkan nadh atau tidak,
kemudian illat itu disesuaikan dengan illat pada fara’.
PEMBAGIAN QIYAS
1.
Qiyas ‘Illat
Ialah qiyas
yang mempersamakan ashal dengan fara’, karena keduanya mempunyai persamaan
illat. Qiyas illat dibagi menjadi dua yaitu:
a.)
Qiyas Jali,
ialah qiyas yang illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan
lain selain dari illat yang ditunjukkan oleh dalil itu.
b.)
Qiyas khafi,
ialah qiyas yang illatnya mungkin dijadikan illat dan mungkin pula tidak
dijadikan illat.
2.
Qiyas Dalalah
Ialah qiyas
yang illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya
illat untuk menetapkan sesuatu hokum dari suatu peristiwa. Contoh ibadat hanya
diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah
baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh).
Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi
syarat-syatar zakat.
3.
Qiyas Syibih
Ialah qiyas
yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal
yang lebih banyak persamaannya dengan fara’. Seperti hokum merusak budak dapat
diqiyaskan kepada hokum merusak orang merdeka, karena keduanya adalah manusia.
Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak
milik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Drs. Muin Umar,
Drs. H. Asyumi A.Rahman, dkk. Ushul Fiqih, Departemen Agama 1986
2.
Prof. Abdul
Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fiqih
3.
Drs. H.A.
Syafi’I karim, Ushul fiqih, untuk Fakultas Tarbiyah komponen MKDK
0 Response to "Pengertian dan Konsep Qiyas"